Jumat, 03 Agustus 2012

MENTAHDZIR SUMBER ILMU ADALAH HARAM


NASEHAT SYAIKH MUHAMMAD BIN SHOLEH AL UTSAIMIN

Oleh : Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin

Syaikh Shalih al Utsaimin rahimahullah pernah ditanya : “Bagaimana pandangan syaikh yang mulia tentang para pemuda, bahkan sebagian dari mereka adalah para penuntut ilmu yang menyibukkan diri dengan tarjih (mencela dan mencacat orang), tanfir dan tahdzir (memperingatkan orang lain agar menjauh dari si fulan dan si fulan), apakah ini amalan syar’i yang diberi pahala karenanya ataukah tidak?”
Maka beliau menjawab : “ Menurut saya ini adalah perbuatan yang diharamkan. Apabila seseorang tidak diperbolehkan meng-ghibah (menggunjing) saudaranya seiman meskipun bukan orang alim, lalu bagaimana bisa diperbolehkan untuk meng-ghibah saudaranya dari para ulama? Seharusnya setiap manusia mukmin harus menahan lisannya dari menggunjing saudaranya kaum mukminin, Alloh Ta’ala berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purbasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya, dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang. (QS. al Hujurat:12)
Hendaklah orang-orang yang terfitnah dengan perbuatan ini mengetahui bahwa jika ia mentahdzir seorang alim, maka ia menjadi sebab tertolaknya kebenaran yang dibawa oleh alim ini, sehingga segala dosa dan akibat dari penolakan kebenaran tadi ia pikul. Karena menilai cacat seorang alim pada kenyataannya bukanlah pencelaan terhadap pribadinya, melainkan pencelaan terhadap warisan Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wassalam karena para ulama (ahlussunnah) adalah pewaris para nabi. Apabila para ulama dicela dan dinilai cacat maka masyarakat tidak akan percaya kepada ilmu yang ada pada mereka, yang ilmu itu diwarisi dari Rasulullah Shalallahu’alaihi wassalam. Ketika itu mereka tidak percaya kepada syari’at yang dibawa oleh orang alim ini.
Saya tidak mengatakan bahwa alim itu ma’sum (suci dari salah), karena setiap orang berpotensi untuk salah. Jika engkau melihat sebuah kesalahan pada diri seorang ulama menurut keyakinanmu, maka hubungilah dia dan carilah pemahaman bersamanya. Maka jika telah jelas bagimu bahwa kebenaran bersamanya, maka wajib atasmu untuk mengikutinya, dan jika belum jelas kebenarannya bagimu, akan tetapi engkau menemukan pada perkataannya ada keluasan, maka kamu wajib menahan diri darinya. Akan tetapi jika ucapannya benar-benar salah menurutmu maka peringatkan masyarakat dari ucapannya yang salah, karena mendiamkan yang salah tidak boleh, tetapi jangan engkau cela dia karena ia adalah orang alim yang telah dikenal dengan kebaikan niatnya.
Seandainya kita mencacat seorang ulama yang terkenal dengan ketulusan niatnya karena sebuah kesalahan dalam masalah fiqih yang mereka terjerumus di dalamnya maka tentunya kita telah menilai cacatnya ulama-ulama besar. Akan tetapi yang wajib kita lakukan adalah apa yang telah kusebutkan. Jika engkau melihat seorang alim yang berbuat satu kesalahan, maka berdialoglah dan berbicaralah dengannya. Jika menjadi jelas bagimu bahwa kebenaran bersamanya, maka ikutilah dia, atau kebenaran ternyata bersamamu maka dia mengikutimu, atau perkara tersebut tidak menjadi jelas hingga ada khilaf di antara kalian berdua berupa khilaf yang lapang. Maka pada saat demikian wajib atas kamu untuk menahan diri, dan hendaknyalah dia berkata apa yang dia katakan dan engkau berkata apa yang engkau katakan. Dan alhamdulillah, perselisihan tidak hanya ada pada masa sekarang saja, namun perselisihan telah terjadi sejak zaman para sahabat hingga saat kita sekarang ini.
Adapun jika kesalahannya adalah jelas, akan tetapi dia tetap mempertahankan perkataannya, maka wajib atasmu untuk menjelaskan kesalahan tersebut dan menjauh darinya. Akan tetapi bukan atas landasan pencelaan terhadap pribadi ulama tersebut, atau keinginan untuk membalasnya, dikarenakan orang tersebut kadang mengucapkan perkataan yang hak dalam sebuah perkara yang tidak kamu perdebatkan dengannya.
Yang penting saya menasehati saudara-saudaraku untuk menjauhi bala’ dan penyakit ini, yaitu mencacat para ulama dan membuat orang lari dari mereka. Aku memohon kepada Alloh kesembuhan bagi diriku dan diri mereka dari segenap perkara yang membuat aib kami, atau yang membahayakan agama dan dunia kami.”
(Sumber. Kitabul Ilm, Muhammad bin Shalih al Utsaimin, hal 220, dan Ta’awun al Du’at wa Atsaruhu Fil Mujtama’, Darul Wathan:35-37.)
Majalah Qiblati Edisi 06 Thn III, 02-1429H / 03-2008
Baca Selanjutnya ..

BEBERAPA PERTANYAAN SEPUTAR HADITS SHAHIH



Hadits Dalam Ash-Shahihain Yang Manakah Yang Dihukumi Dengan Hukum “Shahih”?
Telah berlalu penjelasan yang mengatakan bahwa imam al-Bukhari dan Muslimrahimahumullah tidaklah memasukkan ke dalam kitab Shahihnya kecuali hadits-hadits yang shahih saja dan bahwasanya umat Islam secara keseluruhan sepakat untuk menerima hadits-hadits tersebut. Namun hadits-hadits seperti apakah yang dihukumi dengan hal tersebut?
Jawabnya adalah:
 Bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan oleh keduanya (al-Bukhari dan Muslim) dengan sanad yang bersambung, maka itulah yang dihukumi dengan hukum shahih. Adapun yang dihapus satu perawinya atau lebih di awal sanadnya -Yang dikenal dengan nama Mu’alaq, dan ia (Mu’alaq) banyak terdapat di Shahih al-Bukhari, namun hanya ada di judul bab dan Muqaddmah (pembukaan) saja, tidak ada sedikitpun di inti bab. Adapun dalam Shahih Muslim, maka hanya ada satu hadits, yaitu yang ada di bab Tayammum dan tidak diriwayatkan dengan sanad bersambung di tempat lain,-, maka hukumnya sebagai berikut: 
Pertama:
Yang diriwayatkan dengan redaksi jazm (kata kerja aktif), seperti قَالَ (dia mengatakan), أَمَرَ (dia memerintahkan) dan ذَكَرَ (dia menyebutkan), maka sanad tersebut dinyatakan shahih disandarkan kepada orang yang mengucapkannya. 
Kedua: Yang diriwayatkan dengan redaksi tidak jazm (kata kerja pasif), seperti قِيلَ(dikatakan), أمِرَ (diperintahkan) dan ذُكِرَ (disebut
kan), maka ia tida bisa hukumi shahih disandarkan kepada orang yang mengucapkannya. Namun demikian tidak ada status hadits Wahin (sangat lemah) dalam hadits-hadits tersebut, dikarenakan keberadaannya di kitab yang dinamai oleh penulisnya (al-Bukhari dan Muslim) “ash-Shahih.”
Apa Tingkatan-tingkatan Hadits Shahih?
Telah berlalu penjelasan yang mengatakan bahwa sebagian ulama menyebutkan sanad yang paling shahih yang ada pada mereka. Maka berdasarkan pada hal itu, dan pada keberadaan syarat-syarat yang lain dari hadits Shahih, maka kita dapat mengatakan bahwa hadits Shahih memiliki tingkatan. 
Pertama:
Yang paling tinggi adalah apa yang diriwayatkan dengan sanad yang paling shahih,seperti raiwayat dengan sanad dari Malik, dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma
Kedua:
Yang di bawah tingkatan itu adalah yang diriwayatkan dari jalur para perawi yang mereka lebih rendah kedudukannya dibandingkan para perawio yang pertama. Seperti riwayat Hammad bin Salamah rahimahullah dan Tsabit rahimahullah dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu
Ketiga:
Yang lebih rendah tingkatannya dari itu adalah apa yang diriwayatkan oleh para perawi yang pada dirinya terdapat sifat tsiqah yang paling rendah tingkatannya. Seperti riwayat Suhail bin Abi Shalih rahimahullah dari bapaknya rahimahullah dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu.
Dan digabungkan dengan perincian di atas pembagian hadits shahih menjadi tujuh tingkatan, yaitu: 
1. Pertama: Yang disepakati keshahihannya oleh imam al-Bukhari dan Muslimrahimahumallah, dan ini adalah tingkatan yang paling tinggi. 
2. Kedua: Yang diriwayatkan sendirian oleh imam al-Bukhari rahimahullah
3. Ketiga: Yang diriwayatkan sendirian oleh imam Muslim rahimahullah 
4. Keempat: Yang sesuai dengan syarat keduanya (syarat al-Bukhari dan Muslim), namun keduanya tidak membawakan/mencantumkan hadits tersebut dalam kitab mereka berdua. 
5. Kelima: Yang sesuai dengan syarat al-Bukhari rahimahullah, namun beliau tidak membawakan/mencantumkan hadits tersebut dalam kitabnya 
6. Keenam: Yang sesuai dengan syarat Muslim rahimahullah , namun beliau tidak membawakan/mencantumkan hadits tersebut dalam kitabnya 
7. Ketujuh: Hadits shahih yang ada pada kitab selain keduanya dari kalangan para Imam ahl hadits seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban rahimahumallah dari hadits-hadits yang tidak sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim.

Apa Yang Dimaksud Syarat Syaikhain (Syarat al-Bukhari dan Muslim)?
Asy-Syaikhani/Asy-Syaikhain (al-Bukhari dan Muslim) keduanya tidak menyatakan secara tegas (gamblang) tentang syarat yang keduanya persyaratkan atau yang keduanya tetapkan sebagai tambahan dari syarat-syarat yang telah disepakati dalam hadits shahih. Namun dari penelitian dan pengkajian yang dilakukan oleh para peneliti dan pengkaji dari kalangan ulama terhadap uslub (metode) keduanya, nampak mereka bagi sesuatu, yang masing-masing dari mereka mengira bahwa itu adalah syarat keduanya atau syarat salah satu dari keduanya. 
Dan perkataan yang paling baik dalam masalah ini adalah:”Bahwasanya yang dimaksud dengan syarat Syaikhain atau salah satu dari keduanya adalah, bahwa hadits tersebut diriwayatkan dari jalur para perawi yang ada di kedua kitab tersebut (Shahih al-Bukhari dan Muslim) atau salah satunya, dengan tetap memperhatikan kepada cara/metode yang dipegang teguh oleh keduanya dalam meriwayatkan hadits dari mereka.”
Apa Makna Ucapan Para Ulama “Muttafaqun ‘Alaihi”?
Apabila para ulama hadits berkata tentang sebuah hadits:” Muttafaqun ‘Alaihi”, maka maksud mereka adalah kesepakatan asy-Syaikhain, yakin sepakatnya Syaikhain tentang shahihnya hadits tersebut, bukan kesepakatan seluruh ummat. Hanya saja Ibnu Shalah rahimahullah berkata:”Akan tetapi kesepakatan ummat terhadapnya (hadits itu) adalah sesuatu yang sudah menjadi keniscayaan dari hal itu, dan menjadi kesimpulan dari perkataan itu, dikarenakan kesepakatan mereka (ummat) untuk menerima hadits-hadits yang disepakati shahih oleh keduanya”

Apakah Hadits Shahih Diharuskan Berasal Dari Haidts ‘Aziz
Yang benar adalah bahwa tidak dipersyaratkan dalam hadits Shahih statusnya sebagai hadits ‘Aziz (hadits yang diriwayatkan oleh minimal dua orang perawi dalam tiap-tiap thabaqat sanad), artinya hendaknya hadits itu memiliki dua sanad. Hal ini karena ada di dalam -Shahihain dan kitab-kitab hadits-hadits yang shahih namun ia Gharib (hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perawi dalam salah satu thabaqat sanadnya). Dan sebagian ulama mengira hal itu (mengira bahwa syarat hadits shahih adalah harus berstatus ‘Aziz), seperti Abu ‘Ali al-Jubba’i al-Mu’tazili, dan Imam al-Hakim. Dan perkataan mereka ini menyelishi kesepakatan ummat.



(Sumber: تيسير مصطلح الحديث karya Dr. Mahmud ath-Thahhan, dengan sedikit tambahan. Maktabah Ma’arif, Riyadh, halaman 42-44. Diposting oleh Abu Yusuf Sujono) 
Baca Selanjutnya ..

Hadits Mauquf

Definisi: 
Secara Bahasa (Etimologi):
Ia adalah Isim Maf’ul (objek) dari kata dasar الوقف (berhenti), seakan-akan perawi memberhentikan hadits pada Shahabat, dan tidak menyertainya dengan penyebutan sisa sanad.
Secara Istilah (Terminologi):
Apa-apa yang disandarkan kepada Shahabat berupa ucapan, perbuatan atau persetujuan (ketetapan). 
Ada yang memberikan definisi lain, yaitu hadits yang diriwayatkan dari Shahabat, baik berupa ucapan, perbuatan atau selainnya, baik sanadnya bersambung atau pun terputus.
Penjelasan Definisi:
Maksudnya ia adalah apa-apa yang dinisbatkan atau disandarkan kepada seorang Shahabat atau sejumlah Shahabat, sama saja apakah yang dinisbatkan kepada mereka tersebut berupa ucapan, atau perbuatan atau persetujuan, dan sama saja apakah sanad yang sampai kepada mereka bersambung atau terputus 
Contoh: Hadits Mauquf Muttashil (Bersambung sanadnya): 
Hadits Malik bin Dinar berkata:

« رأيت عبد الله بن عمر يبول قائما » 
”Aku melihat Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma kencing dalam keadaan berdiri.” 
Hadits ini disandarkan kepada ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dan beliau adalah salah seorang Shahabat, dan yang disandarkan kepada beliau adalah perbuatan beliau. Maka yang seperti ini dinamakan Mauquf. 
Di dalam Muwatha’ Imam Malik disebutkan dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

« ساعتان تفتح فيهما أبواب السماء قل أن ترد فيهما دعوة » 
“Dua waktu di mana pintu-pintu langit dibuka, jarang do’a tertolak pada kedua waktu itu.”(al-Muwatha’) 
Ini adalah ucapan Sahl bin Sa’d radhiyallahu 'anhu, dan hadits ini Mauquf dari Shahabat, dan beliau tidak menyadarkan sanadnya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka yang seperti ini dinamakan hadits Mauquf. 
Kedua contoh di atas adalah contoh hadits Mauquf yang bersambung sanadnya, karena Imam Malik rahimahullah mendengar hadits dari Abu Hazim, dan Abu Hazim mendengar dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu, dan dalam sanad tersebut tidak ada keterputusan, sehingga ia disebut hadits Mauquf Muttashil. 
Demikian juga hadits sebelumnya, Imam Malik rahimahullah telah mendengarnya dari ‘Abdullah bin Dinar rahimahullah, dan ‘Abdullah bin Dinar rahimahullah melihat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhumaa. Maka ini menunjukkan bahwa hadits Mauquf terkadang Muttashil (bersambung sanadnya)
Hadits Mauquf Munqathi’ (Terputus sanadnya):
Dan terkadang hadits Mauquf sanadnya terputus (Munqathi’), sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq rahimahullah dari Ma’mar bahwasanya sampai kepadanya dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu:

« كان يرفع يديه في التكبيرة الأولى من الصلاة على الجنازة ثم لا يعود » 
“Bahwasanya beliau (Ibnu Mas’ud) radhiyallahu ‘anhuma, biasa mengangkat keduatangannya pada takbir pertama dari Shalat Jenazah kemudian tidak mengulanginya.” (Mushanaf ‘Abdurrazaq) 
Maka hadits ini adalah Mauquf ke Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu, karena ia adalah perbuatan Shahabat dan sanadnya terputus antara Ma’mar dan ‘Abdullah bin Mas’udradhiyallahu 'anhu. Maka ia bisa disebut sebagai hadits Mauquf yang Munqathi(terputus sanadnya) 
Dan ini juga menunjukkan bahwa hadits Mauquf terkadang Shahih dan terkadang tidak, yakni hadits Mauquf terkadang berlaku padanya tiga hukum suatu hadits, yaitu Shahih, Hasan dan Dha’if, dengan melihat pada terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat haditsShahih dalam sanad hadits Mauquf tersebut. Jika syarat-syarat hadits Shahihterpenuhi pada sanad tersebut, maka hadist Mauquf tersebut Shahih, dan jika terpenuhi syarat-syarat Hasan maka ia menjadi Hasan, dan jika terpenuhi syarat-syarat hadits Dha’if, maka ia pun menjadi hadits Mauquf yang Dha’if. 
Dan inilah hadits Mauquf atau sifat untuk sebuah hadits bahwasanya ia Mauquf, dan ini tidak ada kaitannya dengan ke-shahih-an dan ke-dha’if-an sebuah hadits, namun ia hanya berkaitan dengan kepada siapa ucapan atau perbuatan itu disandarkan.
Pemakaian Lain Untuk Hadits Mauquf 
Dan terkadang istilah Mauquf dipakai untuk mengungkapkan ucapan atau perbuatan selain Shahabat (Tabi’in atau yang lainnya) namun dengan menggunakan Qaid (batasan/tambahan), misalnya ketika seorang Ulama mengatakan:” Fulan me-waquf/mauquf-kannya ke ‘Atha atau selainnya.” Padahal ‘Atha bukanlah seorang Shahabat. Adapun jika kata tersebut dimutlakkan (tidak menggunakan Qaid), seperti ucapan para Ulama hadits ini Mauquf, maka yang dimaksud adalah Mauquf ke Shahabat radhiyallahu 'anhum
Istilah Ahli Fiqih Khurasan Dalam Masalah Ini 
Para ulama Ahli Fiqih dari daerah Khurasan menamakan hadits Marfu’ dengan nama Khabar, sedangkan untuk hadits Mauquf dengan nama Atsar. Adapun para Muhadits (ahli hadits) menamakan keduanya Atsar, karena diambil dari kata {أَثَرْتُ الشَّيْءَ} ”Aku meriwayatkan sesuatu”.
Hukum Hadits Mauquf 
Hadits Mauquf –sebagaimana sudah anda ketahui- terkadang Shahih, atau Hasan atauDha’if, namun sekiranya ia Shahih, apakah ia bisa dijadikan Hujjah? 
Jawaban untuk hal tersebut adalah bahwa hukum asal dari hadits Mauquf adalah bukan hujjah, karena ia termasuk ucapan atau perbuatan Shahabat. Akan tetapi jika iaShahih, maka ia bisa menguatkan sebagian hadits Dha’if –sebagaimana telah berlalu dalam pembahasan hadits Mursal- karena keadaan para Shahabat adalah bahwa mereka beramal dengan Sunnah. Dan ini jika tidak sampai ke hukum Marfu’(sebagaimana akan datang penjelasannya Insya Allah pada pembahasan yang akan datang). Adapun jika ia sampai ke hukum Marfu –secara hukum- maka ia adalah hujjah seperti hadits Marfu’. Wallahu A’lam.



(Sumber: Taisir Musthalah Hadits, karya Dr. Mahmud ath-Thahhan, cet. Maktabah al-Ma’arif Riyadh, hal 130-131 dengan sedikit tambahan dari sumber lain. )
Baca Selanjutnya ..

Kamis, 02 Agustus 2012

Wanita Diciptakan dari Tulang Rusuk?


Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta

Tanya:


 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّ الْمَرْأََةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ … -وَفِي رِوَايَةٍ- الْمَرْأََةُ كَالضِّلَعِ … (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
“Berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para istri)1, karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk…” Dalam satu riwayat: “Wanita itu seperti tulang rusuk….” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Apakah memang wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki ataukah hanya penyerupaan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits yang kedua?
Jawab:


Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta` yang saat itu diketuai Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullahu menjawab, “Zahir hadits menunjukkan bahwa wanita –dan yang dimaukan di sini adalah Hawa ‘alaihassalam– diciptakan dari tulang rusuk Adam. Pengertian seperti ini tidaklah menyelisihi hadits lain yang menyebutkan penyerupaan wanita dengan tulang rusuk. Bahkan diperoleh faedah dari hadits yang ada bahwa wanita serupa dengan tulang rusuk. Ia bengkok seperti tulang rusuk karena memang ia berasal dari tulang rusuk. Maknanya, wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok maka tidak bisa disangkal kebengkokannya.


Apabila seorang suami ingin meluruskannya dengan selurus-lurusnya dan tidak ada kebengkokan padanya niscaya akan mengantarkan pada perselisihan dan perpisahan. Ini berarti memecahkannya2. Namun bila si suami bersabar dengan keadaan si istri yang buruk, kelemahan akalnya dan semisalnya dari kebengkokan yang ada padanya niscaya akan langgenglah kebersamaan dan terus berlanjut pergaulan keduanya. Hal ini diterangkan para pensyarah hadits ini, di antaranya Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Fathul Bari (6/368) semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka semua. Dengan ini diketahuilah bahwa mengingkari penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam tidaklah benar.” (Fatwa no. 20053, kitab Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-Ilmiyyah wal Ifta`, 17/10)
Catatan Kaki:


1 Al-Qadhi rahimahullahu berkata: “Al-Istisha` adalah menerima wasiat, maka makna ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah aku wasiatkan kalian untuk berbuat kebaikan terhadap para istri maka terimalah wasiatku ini.” (Tuhfatul Ahwadzi)


2 Dalam riwayat Al-Imam Muslim rahimahullahu disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((إِنَّ الْمَرْأَةََ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ, لَنْ تَسْتَقِيْمَ لَكَ عَلَى طَرِيْقَةٍ, فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ, وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلاَقُهَا))
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, ia tidak bisa lurus untukmu di atas satu jalan. Bila engkau ingin bernikmat-nikmat dengannya maka engkau bisa bernikmat-nikmat dengannya namun padanya ada kebengkokan. Jika engkau memaksa untuk meluruskannya, engkau akan memecahkannya. Dan pecahnya adalah talaknya.”
Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=716

Baca Selanjutnya ..

Rabu, 01 Agustus 2012

Ujian Kubur Serta Penetapan Nikmat dan Adzabnya



Oleh: Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhaliy

Ingatlah apa yang akan terjadi setelah kematian berupa fitnah kubur, yaitu pertanyaan dua malaikat Munkar dan Nakir kepada semua yang telah mati, sama saja ia di kebumikan dalam kubur, dimakan binatang-binatang buas, dibawa terbang oleh burung, atau dibawa terpencar oleh angin ke segala penjuru dan lautan. Tidak boleh tidak, ia harus mendapatkan pertanyaan tentang Rabb, Dien, dan Rasul, maka siapkanlah jawaban untuk pertanyaan itu wahai saudaraku, perhitungkanlah baik-baik fitnah kubur ini, sebab sesungguhnya tidak ada tempat lari dan mengelak darinya, ketika itu Alloh Ta’ala meneguhkan orang-orang yang beriman dengan perkataan tsabit (teguh) dan Alloh menyesatkan orang-orang yang zhalim. Semoga Alloh merahmati Syaikh Al Hafizh bin Ahmad Al Hakamiy yang telah mengungkapkan makna ini dalam syairnya:
Sesungguhnya setiap kita dimanapun akan ditanya
Tentang Rabb, Dien dan Rasul
Ketika itu Al Muhaimin mengokohkan
Dengan perkataan tsabit orang-orang beriman
Menjadi yakin orang yang ragu tatkala itu
Bahwasanya tempat kembalinya kebinasaan
Jika engkau hendak menelaah perincian fitnah itu-semoga Alloh menyelamatkan kita darinya-agar engkau mendapatkan tambahan nasehat, peringatan, rasa takut, khusyu’ dan persiapan diri, maka dengarkanlah-semoga Alloh meneguhkanmu dan memberimu hidayah- kepada riwayat Imam Ahmad rahimahullah dari Al Barra’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu yang berkata:
“Kami keluar bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam membawa jenazah seorang dari kaum Anshar hingga akhirnya kami sampai ke kubur. Ketika ia dimasukkan ke liang lahat, maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam duduk, kamipun duduk di sekeliling Beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam seolah di kepala kami ada burung, sedangkan ditangan Beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam ada ranting yang ditusuk-tusukkannya ke tanah.
Kemudian Beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam mengangkat kepala seraya bersabda: “Mohonlah perlindungan dari azab kubur!! (Beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam mengucapkannya dua atau tiga kali), Sesungguhnya seorang hamba yang mukmin jikalau akan terputus dari dunia menuju akhirat, maka para malaikat turun dari langit menuju kepadanya dengan wajah putih seolah wajah mereka itu matahari sambil membawa kafan surga dan wewangian surga lalu mereka duduk sepanjang mata memandang,kemudian datang malaikat maut lalu duduk di bagian kepalanya seraya berkata,
‘Wahai jiwa yang baik, keluarlah menuju maghfirah dan keridhaan Alloh’.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Maka iapun keluar laksana cucuran air keluar dari mulut alat penyiraman, lalu malaikat maut mengambilnya, tatkala malaikat maut telah mengambilnya maka para malaikat tidak membiarkan jiwa itu di tangannya sekejap matapun namun diambilnya dan dimasukkan ke dalam kafan dan wewangian tersebut, tercium dari jiwa itu wangi kesturi terharum yang didapatkan di muka bumi, mereka membawanya naik sehingga tidaklah mereka melewati sekelompok malaikat melainkan mereka berkata, ‘Apa bau wangi ini??’, maka yang membawanya berkata, ‘Fulan bin Fulan’ (dengan nama terbaiknya didunia).
Sampai mereka tiba dilangit dunia, pembawanya meminta untuk dibukakan baginya (pintu), maka dibukakan baginya dan ia di antar oleh setiap penjaga langit ke langit yang setelahnya sehingga berakhir di langit ketujuh, maka Alloh Ta’ala berfirman: “Tulislah catatan amal hamba-Ku di Illiyyin dan kembalikan ke bumi, sebab sesungguhnya dari sanalah Aku telah menciptakan mereka, kepadanya Aku mengembalikan mereka, serta darinya Aku akan mengeluarkan mereka pada kali yang lain.”
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Maka ruhnya dikembalikan ke jasadnya, lalu ia didatangi oleh dua malaikat yang duduk didekatnya sambil mengajukan pertanyaan, ‘Siapakah Rabbmu?, Ia menjawab, ‘Alloh Rabbku’, Keduanya bertanya, ‘Apa Dienmu?, Ia menjawab, ‘Dienku Islam’, Keduanya bertanya, ‘Siapa laki-laki yang telah diutus kepada kalian itu?, Ia menjawab, ‘Beliau adalah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam’.
Maka malaikat bertanya, ‘Bagaimana amalanmu?’, Ia menjawab, ‘Saya telah membaca kitab Alloh maka saya beriman kepadanya dan membenarkannya’, maka terdengar seruan: “Hamba-Ku telah benar, maka berikan ia hamparan surga, pakaikan pakaian surga, dan bukakan baginya pintu ke surga”. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “ Maka ia mendapatkan tiupan angin sepoi surga dan wanginya, serta dilapangkan kuburnya sepanjang mata memandang.
Kemudian ia didatangi oleh seseorang yang berwajah tampan, berpakaian indah dan harum mewangi seraya berkata, ‘Gembiralah dengan kesenanganmu, inilah hari yang dahulu dijanjikan kepadamu’, maka ia berkata kepadanya, ‘Siapakah engkau gerangan yang wajahmu membawa kebaikan??’ Diapun menjawab, ‘Sayalah amalanmu yang shalih’, Ia berkata, ‘Rabb! Tegakkanlah kiamat sehingga saya dapat kembali berkumpul dengan keluarga dan apa yang diberikan bagiku.’
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Sedangkan sesungguhnya hamba yang kafir, jikalau akan terputus dari dunia dan menuju akhirat, turun dari langit para malaikat kepadanya dengan wajah hitam sambil membawa kain kasar, lalu mereka duduk di dekatnya sepanjang mata memandang, kemudian menghadaplah Malakul maut hingga duduk di bagian kepalanya seraya berkata, ‘Hai jiwa yang buruk, keluarlah menuju murka Alloh’. Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Malakul maut menggerayangi dengan kasar jasadnya, lalu mencabutnya seperti mencabut besi penusuk daging bakar dari wol basah.
Malakul maut mengambilnya, ketika dia mengambilnya maka para malaikat tidak menunggu sekejap mata lalu diambil dari tangan Malakul maut dan dimasukkan ke kain kasar itu, keluar darinya bau sangat busuk seperti bau bangkai terbusuk dimuka bumi. Mereka membawanya naik sehingga tidaklah mereka membawanya melewati suatu kelompok malaikat melainkan para malaikat itu berkata, ‘Apa ruh yang busuk ini??’ Malaikat yang membawa menjawab, ‘fulan bin fulan’ (dengan namanya yang terburuk di dunia). Sampai tiba dilangit dunia, maka dimintakan untuk dibuka (pintu) namun tidak dibukakan baginya. Lalu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam membaca ayat:
Sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta bisa masuk ke lubang jarum.” (QS. Al A’raf:40)
Maka Alloh berfirman: “Tulislah catatannya di sijjin bumi yang terendah”,lalu ruhnya dilempar begitu saja, Rasulullah membaca ayat:
Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Alloh, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS. Al Hijj:31)
Ruhnya dikembalikan ke jasadnya, lalu dua malaikat datang mendudukannya seraya berkata, ‘Siapa Rabbmu?’, Ia menjawab, ‘Ah..ah….saya tidak tahu’, Keduanya bertanya, ‘Apa Dienmu?, Ia menjawab, ‘Ah…ah….saya tidak tahu’, Keduanya bertanya, ‘Siapakh lelaki yang diutus kepada kalian itu?, Ia menjawab, ‘Ah…ah…saya tidak tahu’, maka terdengar seruan dari langit, “Dia dusta, berikan dia tikar dari neraka dan bukakan baginya pintu neraka, maka ia didatangi oleh panas api neraka dan anginnya, disempitkan baginya kubur sehingga terjepit saling bertaut tulang rusuknya.
Kemudian ia didatangi oleh seorang laki-laki berupa jelek, berpakaian buruk, dan berbau busuk seraya berkata, ‘Bergembiralah dengan kesengsaraanmu, inilah harimu yang dahulu diancamkan’, ia berkata, ‘Siapa engkau, wajahmu membawa keburukan??’ Dia menjawab, ‘Akulah amalmu yang buruk’, ia berkata, ‘Wahai Rabb, janganlah Engkau menegakkan hari Kiamat’.”
Dalam sebuah riwayat tentang kisah seorang mukmin (tambahan ini dari Musnad Imam Ahmad juz IV hal.296 dari Al Barra’)
“Sehingga jika ruhnya telah keluar, maka semua malaikat yang ada di antara langit dan bumi juga semua malaikat yang ada di langit bershalawat baginya, dibukakan baginya pintu-pintu langit, serta semua penjaga pintu berdoa memohon kepada Alloh Ta’ala untuk menaikkan ruhnya dari arah mereka.”
Dalam riwayat lain tentang kisah orang yang kafir (Tambahan ini di dalam Musnad juz IV hal 296 dan Sunnan Abi Dawud juz IV kitab Sunnah no. 4753)
“Lalu didatangkan kepadanya seorang yang buta, bisu dan tuli membawa sebuah pentungan yang andaikan dipukulkan dengannya sebuah gunung maka ia akan menjadi rata dengan tanah, malaikat itu memukulnya sekali pukulan hingga hancur menjadi tanah, kemudian Alloh mengembalikannya sebagaimana semula, lalu malaikat itu kembali memukulnya sekali pukul sehingga ia berteriak dengan teriakan yang didengarkan oleh segala sesuatu kecuali tsaqalain (manusia dan jin).”
Al Barra’ berkata: ‘Kemudian dibukakan baginya satu pintu neraka dan dihamparkan baginya tikar neraka.
Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Majah juga meriwayatkan semisal itu.
Saya katakan: “Sangatlah pantas bagi seluruh kaum muslimin dan muslimat untuk mempelajari hadits yang mulia ini, lalu memikirkan apa yang ditunjukkannya dari pemandangan kebaikan, keutamaan dan ihsan bagi orang-orang yang melakukan hal itu juga. Demikian pula apa yang ditunjukkannya dari pemandangan penghinaan, hukuman dan siksaan bagi penganut kekafiran, kefasikan, dan maksiat sebagai balasan yang sempurna berdasarkan hikmah dari Raja Diraja Sang Maha Penagih pertanggungan jawab.
Benar, siapa yang menghadirkan dalam ingatannya pemandangan itu di setiap waktu dan keadaan, maka dialah manusia yang berakal dan shalih, sebab dia akan mempersiapkan jawaban pertanyaan dan benar-benar memperhitungkan fitnah mengerikan itu, sambil memohon kepada Rabb-nya hidayah, taufik serta keteguhan di dunia ini dan setelah meninggalnya.
Di kutip dari kitab “Bagaimana Seorang Muslim Mengenal Agamanya”, penulis: Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhaliy, penerbit: Cahaya Tauhid Press Malang
Baca Selanjutnya ..

PENGERTIAN SUNNAH

Syaikh DR. Abdussalam bin Salim as Suhaimi



Sudah dikenal bahwa di antara nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah salafiyyun. Maka alangkah baiknya kita mengenal makna Sunnah baik secara bahasa maupun istilah. Kemudian beralih menjelaskan nama-nama Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan menyebutkan sebab penamaan tersebut. Adapun arti Sunnah secara bahasa adalah thariqah dan Sirah (jalan, perjalanan hidup). Para ulama ahli bahasa berbeda pendapat: apakah arti Sunnah itu terbatas pada jalan yang baik saja ataukah mencakup jalan yang baik dan yang buruk?.
Pendapat yang benar bahwa yang dimaksud dengan Sunnah secara bahasa adalah jalan yang baik atau buruk, diantara dalilnya yaitu sabda Nabi Shalallahu’alaihi wassalam : “Barangsiapa yang mencontohkan dalam Islam sunnah yang baik, maka bagi dia pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya. Barangsiapa yang mencontohkan sunnah yang jelek, maka atasnya dosa dan dosa orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim)
Rasullullah membagi sunnah dalam hadits tersebut menjadi sunnah yang baik dan sunnah yang buruk.
Adapun pengertian sunnah menurut istilah, di sana ada pengertian menurut istilah ahli hadits dan istilah menurut ahli ushul dan ahl fiqih.
Sedangkan menurut istilah ahli hadits yaitu, “apa yang disandarkan kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi wassalam baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, atau sifat, baik fisik; akhlaq maupun perjalanan hidup, sebelum diangkat menjadi Nabi atau sesudahnya.”
Adapun menurut istilah ahli ushul, “diungkapkan untuk setiap perkara yang dinukil dari Nabi Shalallahu’alaihi wassalam yang tidak terdapat dalam al-Qur’an, tetapi diungkapkan oleh Nabi Shalallahu’alaihi wassalam, baik sebagai penjelasan bagi al-Qur’an maupun tidak”.
Sementara menurut istilah ahli fiqih, “diungkapkan untuk setiap perkara yang bukan wajib, dikatakan sesuatu itu sunnah yaitu bukan fardhu atau wajib, dan tidak pula haram atau makruh.”
Tetapi makna sunnah menurut kebanyakan kalangan salaf lebih luas dari itu, karena  mereka mengartikan sunnah dengan makna yang lebih luas dari makna menurut ahli hadits, ahli ushul dan ahli fiqih. Mereka mengartikan sunnah sebagai setiap perkara yang sejalan dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shalallahu’alaihi wassalam serta para sahabatnya baik perkara I’tikad maupun ibadah, dan lawannya adalah bid’ah.
Dikatakan si fulan berada di atas sunnah, jika amalan-amalannya sejalan dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shalallahu’alaihi wassalam. Juga dikatakan si fulan di atas bid’ah, jika amalannya menyelisihi al-Qur’an dan as Sunnah atau salah satunya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Istilah sunnah menurut ungkapan salaf mencakup sunnah dalam ibadah maupun i’tiqad, walaupun kebanyakan para penulis tentang sunnah menggunakannya untuk perkara-perkara i’tiqad.”
Beliau berkata rahimahullah : “As Sunnah adalah pedoman yang Rasulullah Shalallahu’alaihi wassalam berada di atasnya berupa keyakinan, maksud, ucapan dan amalan.”
Ibnu Rajab rahimahullah berkata : “Kebanyakan para ulama mutaakhirin mengkhususkan sunnah para perkara yang berkaitan dengan i’tiqad, karena itu merupakan pokok agama dan yang menyelisihinya berada dalam bahaya yang besar.”
Penulis berkata: Lafadz sunnah jika diungkapkan dalam bab i’tiqad, maka yang dimaksud adalah agama secara sempurna, tidak sebagaimana yang diistilahkan oeh ahli hadits, ahli ushul atau ahli fiqih.
Ibnu Rajab rahimahullah menambahkan, “As Sunnah adalah jalan yang ditempuh, mencakup:berpegang dengan pedoman yang ditempuh Nabi Shalallahu’alaihi wassalam dan para khalifahnya yang rasyidin, baik berupa i’tiqad, amalan maupun ucapan.”
Dinukil dari kitab “Jadilah Salafi Sejati”, penulis Syaikh DR. Abdussalam bin Salim as Suhaimi, penerbit Pustaka at Tazkia, 2007
Baca Selanjutnya ..

Makna Hanifiyyah dan Siapakah Orang yang Hanif Itu?


Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rohimahulloh berkata :
Ketahuilah, semoga Alloh memberimu petunjuk dalam mentaati-Nya, Bahwa al-Hanifiyyah adalah agama Ibrohim: yaitu engkau beribadah hanya kepada Alloh saja dengan ikhlas kepada-Nya.
Asy-Syaikh Abdurrohman bin Muhammad bin Qosim rohimahulloh menjelaskan :
Al-Hanifiyyah adalah jalan dan syari’at Nabi Ibrohim dan seluruh Nabi ‘alaihimus salam, yaitu sebagaimana yang telah disebutkan oleh penulis : “engkau beribadah kepada Alloh dengan ikhlas kepada-Nya dalam menjalankan agama”. Inilah hakikat agama Nabi Ibrohim, beribadah kepada Alloh dengan ikhlas.
Dan ikhlas adalah cinta kepada Alloh dan berharap wajah-Nya, beribadah kepada Alloh dengan ikhlas serta meninggalkan sesembahan selain-Nya. Hanifiyyah ini yang disebutkan dalam firman Alloh :
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفاً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ [النحل: 123]
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrohim seorang yang hanif dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” [QS an-Nahl: 123]
Dan dalam firman Alloh :
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتاً لِلَّهِ حَنِيفاً وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِينَ  [النحل:120]
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” [QS an-Nahl: 120]
Dan hanif adalah diambil dari kata al-hanaf, yaitu kecondongan. Orang yang hanif adalah orang yang berpaling dari kesyirikan dan melangkah menuju tauhid.
Dan seorang yang Hanif juga bermakna: Orang yang istiqomah dan berpegang teguh pada ajaran Islam, membenarkan Alloh dan mengingkari semua sesembahan selain-Nya, dan orang yang hanif adalah siapa saja yang berada di atas agama Nabi Ibrohim ‘alaihis salam.
***
Sumber: Hasyiah Tsalatsatil Ushul hal 30-31.
***
Baca Selanjutnya ..

Pengaruh Istri yang Bersyukur dan Istri yang Tidak Bersyukur Terhadap Pekerjaan Suami

Abu Bakr Ahmad bin Marwan bin Muhammad ad-Dainuri seorang qodhi madzhab maliki (wafat 333 H) menyebutkan dalam kitabnya al-Mujaalasah wa Jawaahirul ‘Ilm:Dari Kholid bin Yazid, ia berkata:
Hasan al-Bashri berkata:“Aku datang kepada seorang pedagang kain di Mekkah untuk membeli baju, lalu si pedagang mulai memuji-muji dagangannya dan bersumpah, lalu akupun meninggalkannya dan aku katakan tidaklah layak beli dari orang semacam itu, lalu akupun beli baju dari pedagang yang lain. Dua tahun setelah itu aku haji dan aku ketemu lagi dengan orang itu, tapi aku tidak lagi mendengarnya memuji-muji dagangannya dan bersumpah,
lalu aku tanya kepadanya: “bukankah engkau orang yang dulu pernah berjumpa denganku beberapa tahun lalu?”,
ia menjawab : “iya benar”,
aku tanya lagi: “apa yang membuatmu berubah seperti sekarang? Aku tidak lagi melihatmu memuji-muji dagangan dan bersumpah!”
iapun bercerita: “dulu aku punya istri yang jika aku datang kepadanya dengan sedikit rejeki, ia meremehkannya dan jika aku datang kepadanya dengan rejeki yang banyak ia menganggapnya sedikit. Lalu Alloh mewafatkan istriku tersebut, dan akupun menikah lagi dengan seorang wanita. Jika aku hendak pergi ke pasar, ia memegang bajuku lalu berkata: “wahai suamiku, bertaqwalah kepada Alloh, jangan engkau beri makan aku melainkan dengan yang thoyib (halal), jika engkau datang kepadaku dengan sedikit rejeki, aku akan menganggapnya banyak. Dan jika engkau tidak dapat apa-apa aku akan membantumu memintal (kain).”
Lihat kitab: al-Mujaalasah wa Jawaahirul ‘Ilm (5/252) karya Abu Bakr Ahmad bin Marwan bin Muhammad ad-Dainuri al-Qodhi al-Maliki (W. 333H), Muhaqqiq Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Aalu Salman, penerbit: Jum’iyyah at-Tarbiyyah al-Islamiyyah (Bahrain – Ummul Hafsh) Daar Ibnu Hazm (Beirut – Lebanon) Tahun terbit 1419 H.
***
***
ذكر أبو بكر أحمد بن مروان بن محمد الدينوري القاضي المالكي [ت:333هـ] في كتابه: المجالسة وجواهر العلم:
عن خالد بن يزيد قال: قال الحسن البصري: “وقفت على بزاز بمكة أشتري منه ثوباً، فجعل يمدح ويحلف، فتركته وقلت: لا ينبغي الشراء من مثله، واشتريت من غيره، ثم حججت بعد ذلك بسنتين، فوقفت عليه، فلم أسمعه يمدح ولا يحلف، فقلت له: ألست الرجل الذي وقفت عليه منذ سنوات؟ قال: نعم، قلت له: وأي شيء أخرجك إلى ما أرى؟ ما أراك تمدح ولا تحلف! فقال: كانت لي امرأة إن جئتها بقليل نزرته، وإن جئتها بكثير قللته، فنظر الله إليّ فأماتها، فتزوجت امرأة بعدها، فإذا أردت الغدو إلى السوق أخذت بمجامع ثيابي ثم قالت: “يا فلان اتق الله ولا تطعمنا إلا طيباً، إن جئتنا بقليل كثرناه، وإن لم تأتنا بشيء أعناك بمغزلنا”[1].
[1] – انظر: المجالسة وجواهر العلم (5/252) لأبي بكر أحمد بن مروان بن محمد الدينوري القاضي المالكي [ ت:333هـ] المحقق: أبو عبيدة مشهور بن حسن آل سلمان، الناشر: جمعية التربية الإسلامية (البحرين – أم الحصم ) دار ابن حزم (بيروت – لبنان) تاريخ النشر (1419هـ).
***
SEKELUMIT FAIDAH DARI KISAH INI:
Faidah penting dari kisah ini adalah bahwa seorang wanita itu sangat berpengaruh terhadap cara suami mencari rizki…
Seorang wanita  yang tidak bersyukur dengan rizki yang diberikan kepada suaminya dan selalu menuntut lebih, bisa membuat seorang suami melakukan perbuatan yang tidak terpuji dalam melakukan pekerjaannya sebagaimana dalam kisah di atas, ia memuji-muji dagangan dan bersumpah demi melariskan dagangannya.
Abu Hurairah rodhiyallohu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْحَلِفُ مُنَفِّقَةٌ لِلسِّلْعَةِ مُمْحِقَةٌ لِلْبَرَكَةِ
“Sumpah itu (memang biasanya) melariskan dagangan jual beli namun bisa menghilangkan berkahnya”. (HR. Al-Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1606)
Dari Abu Qatadah Al-Anshari rodhiyallohu anhu, bahwa dia mendengar Rosululloh shallallahu  ‘alaihi wasallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَكَثْرَةَ الْحَلِفِ فِي الْبَيْعِ فَإِنَّهُ يُنَفِّقُ ثُمَّ يَمْحَقُ
“Jauhilah oleh kalian banyak bersumpah dalam berdagang, karena dia (memang biasanya) dapat melariskan dagangan tapi kemudian menghapuskan (keberkahannya).” (HR. Muslim no. 1607)
Atau yang banyak terjadi di zaman ini dimana banyak orang berlomba-lomba memperkaya diri tanpa peduli apakah harta itu hasil korupsi, menipu, uang riba, dan lain sebagainya demi memenuhi tuntutan istri dan anak-anaknya.
Begitulah wanita yang kufur pada suami menjadi pendorong bagi suaminya untuk berbuat dosa…
Adapun istri  yang  sholihah, ia akan selalu mengingatkan suaminya untuk senantiasa mencari rizki yang halal. Ia selalu mensyukuri pemberian suaminya walaupun sedikit, dan rela membantu suaminya jika suaminya tidak memperoleh apa-apa. Dia lebih menyukai  hidup kekurangan daripada hidup berkecukupan tapi dari hasil rizki yang tidak halal.
Betapa indahnya perkataan istri pedagang tersebut yang bersyukur terhadap suaminya :  “wahai suamiku, bertaqwalah kepada Alloh, jangan engkau beri makan aku melainkan dengan yang thoyib (halal), jika engkau datang kepadaku dengan sedikit rejeki, aku akan menganggapnya banyak. Dan jika engkau tidak dapat apa-apa aku akan membantumu…”
Maka takutlah engkau wahai para wanita terhadap ancaman ini !!
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ، يَكْفُرْنَ» قِيلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ؟ قَالَ: ” يَكْفُرْنَ العَشِيرَ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا، قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ “
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda: “Neraka diperlihatkan kepadaku, ternyata kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita.” Para sahabat bertanya: “Apakah karena mereka kufur terhadap Alloh?”, Beliau menjawab: “mereka kufur terhadap suami dan mengingkari kebaikannya, seandainya engkau berbuat baik pada salah seorang dari mereka selama satu tahun kemudian ia melihat sesuatu (yang tidak ia sukai) darimu, ia akan mengatakan: “Aku tidak pernah melihat satu kebaikanpun darimu.” [HR. al-Bukhori no. 29 dalam Bab Kufron al-Asyir Kufrun Duuna Kufrin]
Semoga Alloh menjadikan kita sebagai istri yang sholihah yang selalu mensyukuri kebaikan-kebaikan suami serta menjadi pendorong bagi suami untuk berbuat kebaikan…


source : ummushofi.wordpress.com
***

Baca Selanjutnya ..

Manisnya Sifat Qona’ah


Oleh: al-Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni hafidzohulloh
Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rezeki yang secukupnya dan Allah menganugerahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezeki yang Allah berikan kepadanya.”[1].
Hadits yang mulia menunjukkan besarnya keutamaan seorang muslim yang memiliki sifat qanaa’ah[2], karena dengan itu semua dia akan meraih kebaikan dan keutamaan di dunia dan akhirat, meskipun harta yang dimilikinya sedikit[3].
Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:
- Arti qanaa’ah adalah merasa ridha dan cukup dengan pembagian rezeki yang Allah Ta’ala berikan[4].
- Sifat qana’ah adalah salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman, karena sifat ini menunjukkan keridhaan orang yang memilikinya terhadap segala ketentuan dan takdir Allah, termasuk dalam hal pembagian rezeki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan kemanisan (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb-nya dan Islam sebagai agamanya, serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya.”[5].
Arti “ridha kepada Allah sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[6].
- Yang dimaksud dengan rezeki dalam hadits ini adalah rezeki yang diperoleh dengan usaha yang halal, karena itulah yang dipuji dalam Islam[7].
- Arti sabda beliau, “…yang secukupnya” adalah yang sekadar memenuhi kebutuhan, serta tidak lebih dan tidak kurang[8], inilah kadar riekei yang diminta oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamkepada Allah untuk keluarga beliau , sebagaimana dalam doa beliau, “Ya Allah, jadikanlah rezeki (yang Engkau limpahkan untuk) keluarga (Nabi) Muhammad (shallallahu ‘alaihi wa sallamQuutan.”[9]. Artinya: yang sekadar bisa memenuhi kebutuhan hidup/ seadanya[10].
- Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati).”[11].
- Dalam hadits lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “…Ridhahlah (terimalah) pembagian yang Allah tetapkan bagimu, maka kamu akan menjadi orang yang paling kaya (merasa kecukupan).”[12].
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 29 Jumadal ula 1432 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

source :http://ummushofi.wordpress.com/2011/05/28/manisnya-sifat-qona%E2%80%99ah/

Baca Selanjutnya ..