Jumat, 27 Juli 2012

Mengenal Kode Daur Ulang (Recycle) Plastik


Setiap jenis plastik memerlukan proses yang berbeda untuk dapat didaur ulang atau di-recycle menjadi bahan baku plastik kembali. Selanjutnya plastik yang telah didaur ulang dapat digunakan untuk memproduksi aneka produk berbahan plastik. Ada plastik yang mudah untuk didaur ulang, ada pula yang sulit didaur ulang. Kode simbol recycle (panah segitiga) yang dilengkapi dengan angka, yang terdapat dalam produk plastik seperti botol air mineral, menunjukkan tingkat kemudahan bahan plastik tersebut untuk didaur ulang. Kode nomor recycle tersebut mulai dari angka 1 sampai dengan 7. Nomor kode daur ulang yang kita kenal selama ini adalah hasil rancangan The Society of the Plastic Industry (SPI) pada tahun 1988, dengan tujuan untuk mempermudah konsumen serta industri daur ulang membedakan jenis-jenis plastik. Sekaligus kode ini pula diharapkan dapat membantu tugas industri daur ulang menjadi lebih efektif. Sekarang mari kita bahas satu persatu nomor kode daur ulang tersebut. Nomor 1 menunjukkan plastik yang paling mudah dan umum untuk didaur ulang, yaitu plastik yang terbuat dari polyethylene terephthalate (PETE). Sebagai contohnya adalah botol bekas kemasan air mineral, minuman bersoda, kemasan obat-obatan, dan bekas kemasan produk konsumen lainnya. PETE yang telah didaur ulang kemudian dibuat menjadi jas hujan, sleeping bag, jaket, karung plastik, tali, bemper mobil, sisir, pita kaset, furnitur dan tentu menjadi botol kemasan lagi. Plastik dengan label nomor 2 adalah untuk high density polyethylene (HDPE), yang biasa digunakan sebagai botol deterjen, susu, sampo dan minyak pelumas motor. Plastik dengan label recyle 2 biasanya didaur ulang menjadi mainan, pipa dan tali. Plastik dengan label nomor 3 adalah untuk polyvinyl chloride (PVC), yang banyak digunakan untuk pembuatan pipa PVC, gorden shower kamar mandi, selang untuk kebutuhan medis dan dashboard vinyl. Label nomor 4 adalah untuk low density polyethylene (LDPE), yang biasa digunakan untuk pembuatan kantong plastik. Label nomor 5 adalah untuk polypropylene (PP), digunakan pada Tupperware, dll. Sedangkan plastik dengan label nomor 6 adalah untuk plastik berbahan polystyrene (Styrofoam), yang biasanya digunakan sebagai wadah makanan atau minuman sekali pakai, tempat daging di supermarket dan bahan insulasi. Styrofoam banyak diterima karena dapat didaur ulang dengan mudah dan dapat dijadikan berbagai aneka barang, termasuk diantaranya pita kaset dan bahan insulasi busa. Yang terakhir adalah plastik dengan label recycle nomor 7. Plastik yang termasuk ke dalam golongan ini adalah plastik yang paling sulit untuk didaur ulang. Plastik semacam ini dibuat dari kombinasi bahan-bahan plastik dari kelompok berlabel 1~6 atau bahan plastik yang diformulasikan secara khusus. Untuk mempermudah proses daur plastik serta mengurangi waktu yang diperlukan, maka pemilahan limbah plastik berdasarkan nomor label dan pemisahan dari limbah jenis lain sejak awal, mutlak diperlukan adanya. (artikel : serba serbi)
Baca Selanjutnya ..

Sekilas Tentang Deodoran

Istilah deodoran tentu sudah tidak asing lagi bagi kita. Zat kimia yang satu ini biasanya kita gunakan untuk menghilangkan bau tidak sedap dari tubuh kita. Deodoran atau dalam istilah asingnya deodorant atau deodorizer adalah suatu zat yang digunakan untuk menyerap atau mengurangi bau menyengat. Deodoran memiliki beberapa bentuk, ada yang cair ada pula yang padat. Untuk penggunaan kebersihan tubuh misalnya, deodoran digunakan pada bagian permukaan tubuh tertentu untuk menghilangkan bau tidak sedap. Karena kebanyakan bau tidak sedap dari tubuh disebabkan oleh aktifitas bakteri pada kulit, ke dalam deodoran biasanya ditambahkan pula zat antiseptik, yang berfungsi untuk membunuh bakteri penyebab bau. Batubara aktif dan silika gel menghilangkan bau dari udara dengan cara menyerapnya ke permukaan aktifnya. Ada pula beberapa deodoran yang menghilangkan bau dengan cara bereaksi dengan senyawa penyebab bau. Salah satu contohnya adalah klorofil. Glikol adalah deodoran sekaligus disinfektan yang biasanya disemprotkan saat digunakan untuk menyerap bau dari udara
Baca Selanjutnya ..

Selasa, 24 Juli 2012

7 Tips Memaksimalkan Pahala di Bulan Ramadhan


Ramadhan yang mulia telah tiba. Momentum di bulan ini adalah ladang untuk menyemai benih-benih amal, demi meraih surga-Nya dan bersua dengan-Nya dalam keadaan ridha dan diridhai. Namun di satu sisi, jenis amalan yang bisa kita lakukan untuk ber-taqarrub di bulan Ramadhan yang mulia ini sangatlah beragam dan banyak, sementara tidak ada satu pun dari kita yang akan mampu melakukan seluruh amalan-amalan tersebut dengan sempurna, sebagaimana ungkapan ibunda ‘Aisyah radhiallaahu’anha:
وَأَيُّكُمْ يَسْتَطِيْعُ مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَطِيْعُ؟
“Siapakah di antara kalian yang mampu melakukan apa yang mampu di lakukan oleh Rasulullah?”[1]
Terlebih lagi realitas keragaman kaum muslimin yang melahirkan perbedaan situasi, kondisi, dan kemampuan masing-masing individu dalam menunaikan ibadah sunnah. Hal ini menuntut kita untuk mampu memenej ibadah sunnah agar menghasilkan pahala yang maksimal sesuai kemampuan dan keluangan setiap pribadi muslim.
Tahukah Anda bahwa seorang hamba yang terlihat secara zhahir melakukan amalan yang sederhana, bisa mengalahkan pahala ibadah mereka yang tampak menggebu-gebu dan payah dalam ibadahnya? Inilah yang diisyaratkan oleh Abu Darda dalam ucapannya yang terkenal[2]:
يَا حَبَّذَا نَوْمُ الأَكْيَاسِ وَإفْطَارُهُمْ كَيْفَ يَغْبِنُوْنََ سَهَرَ الْحَمْقَى وَصِيَامَهُمْ، وَلَمِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ بِرِّ صَاحِبِ تَقْوًى وَيَقِيْنٍ، أَعْظَمُ وَأَفْضَلُ وَأَرْجَحُ مِنْ أَمْثَالِ الْجِبَالِ عِبَادَةً مِنَ الْمُغْتَرِّيْنَ
“Duhai betapa hebat tidur dan ifthor-nya orang-orang berilmu (mereka tidak sholat malam dan juga tidak puasa sunnah-pent), namun bagaimana mereka bisa mengalahkan (pahala) sholat malam dan puasanya orang-orang yang bodoh. Sungguh, seukuran biji dzarroh amalan orang yang bertakwa atas dasar ilmu, lebih agung, lebih utama, dan lebih kuat dibandingkan sebesar gunung ibadah dari orang-orang yang tertipu (karena kebodohan mereka tentang ilmu agama).”  
Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Untuk itu—dengan mengharapkan pertolongan Allah—kami akan memaparkan beberapa kerangka acuan yang sepatutnya kita amalkan demi meraih semaksimal mungkin pahala di bulan suci ini sesuai kesanggupan yang ada pada diri kita masing-masing;


Pertama:  Perkuat keikhlasan Anda. Karena semakin besar kekuatan ikhlas dalam beramal, semakin besar pula pahala amalan tersebut. Allah berfirman:
وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ
“…dan Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki…” [QS. Al-Baqarah: 261]. Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa: “yang demikian itu bergantung pada (tingkat) keikhlasannya.”[3]
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (Shahih Bukhari: 2840 dan Shahih Muslim: 1153), Rasulullah bersabda:
مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا
“Barangsiapa berpuasa sehari fii sabiilillaah (di jalan Allah), maka Allah akan menjauhkan wajahnya (dan seluruh raganya) dari api neraka sejauh 70 tahun perjalanan.”
Para ulama menjelaskan bahwa termasuk dalam cakupan makna fii sabiilillaahdalam hadits di atas adalah; “ikhlas karena Allah semata”.  
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah juga bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keyakinan (akan pahalanya) dan niat yang ikhlas dalam meraih ganjaran dari Allah, maka pasti dosa-dosanya yang telah lalu diampuni.” [Shahih Bukhari: 38, Shahih Muslim: 760]
Termasuk dalam hal ini adalah adanya tekad dan niat yang besar untuk melaksanakan sunnah-sunnah Ramadhan kendati terhalang oleh udzur berupa kelemahan fisik dan harta. Seperti berangan-angan dan bertekad agar bisa melaksanakan umroh saat Ramadhan, atas dasar keyakinan akan janji Rasulullahdalam sabdanya kepada Ummu Sinaan al-Anshoriy radhiallaahu’anha:
فَإِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَاعْتَمِرِي، فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجَّةً
“Jika telah tiba Ramadhan, maka umrah-lah. Karena sesungguhnya umrah di bulan tersebut sama pahalanya dengan menunaikan haji.”[4]
Jika tekad dan niat tersebut terhalang oleh udzur, maka Insya Allah, terdapat pahala bagi niat yang shalih sesuai kadar kekuatan tekad dan harapan yang bersemayam di dalam hati[5].
Kedua: Senantiasa ikrarkan niat di dalam hati pada setiap amal atau pekerjaan yang Anda lakukan demi mengharapkan ridha Allah.
Jangan remehkan hal ini. Coba bayangkan! Hanya dengan tidur di siang hari, namun dengan niat agar bisa khusyu’ mengerjakan Tarawih di malam hari, Anda sudah mendapatkan pahala tersendiri dari tidur siang tersebut. Tidak demikian halnya bagi orang yang tidur tanpa menghadirkan niat karena Allah.
Demikianlah keajaiban niat. Amalan hati yang tidak membutuhkan keletihan fisik untuk menunaikannya, tidak sedikitpun gerak anggota badan dilibatkan dalam urusan niat. Kendati demikian, ia adalah ruh bagi setiap amal. Keikhlasan merupakan syarat penentu diterima tidaknya suatu amal oleh Allah, sebagaimana ia juga menjadi pembeda derajat para hamba dalam rapor amal mereka.
Dahulu, para salaf senantiasa meniatkan setiap gerak dan amal anggota badan mereka agar bernilai ibadah dan mendatangkan pahala. Saat mereka tidur, mereka niatkan karena Allah, demikian pula saat mereka makan, minum, berjalan kaki, menaiki kendaraan, berbicara, diam, semuanya mereka niatkan sebagai bentuk sarana pengabdian dan taqarrub kepada Allah. Dahulu pernah dikatakan kepada ‘Umar bin Dzar rahimahullaah:
تَكَلَّمْ! فَيَقُوْلُ: مَا تَحْضُرُنِي نِيَّةٌ.
“Bicaralah (wahai ‘Umar)! Lantas beliau mengatakan: “niat (untuk berbicara yang bernilai ibadah) belum hadir pada diriku.” [Ta’thiirul Anfaas min Hadiitsil Ikhlaash: 59]
Tidak heran jika Ja’far bin Hayyan rahimahullaah mengatakan:
مِلاَكُ هَذِهِ الأَعْمَالِ النِّيَّاتُ، فَإنَّ الرَّجُلَ يَبْلُغُ بِنِيَّتِهِ مَا لاَ يَبْلُغُ بِعَمَلِهِ
“Niat adalah penentu amalan, karena sesungguhnya dengan niat tersebut, seseorang mampu mencapai sesuatu (di sisi Allah), apa yang tidak mampu ia capai dengan amalannya.” [Ta’thiirul Anfaas min Hadiitsil Ikhlaash: 34]
Ketiga: Kumpulkanlah sebanyak mungkin niat yang shalih dalam satu amal atau pekerjaan Anda. Karena semakin banyak niat yang shalih dalam suatu amalan, maka semakin banyak pula pahalanya.
Imam Abu Tholib al-Makkiy rahimahullaah mengatakan:
فَرُبَّمَا اتَّفَقَ فِي الْعَمَلِ الْوَاحِدِ نِيَّاتٌ كَثِيْرَةٌ عَلَى مِقْدَارِ مَا يَحْتَمِلُ الْعَبْدُ مِنَ النِّيَّةِ، وَعَلَى مِقْدَارِ عِلْمِ الْعَامِلِ، فَيَكُوْنُ لَهُ بِكُلِّ نِيَّةٍ حَسَنَةٌ.
“Bisa saja niat yang banyak berkumpul pada satu amalan sesuai kadar kemampuan seorang hamba dalam menghadirkan niat dan sesuai kadar ilmu yang dimiliki orang yang beramal. Maka ia akan memperoleh untuk setiap niat, pahala tersendiri.” [Ta’thiirul Anfaas: 49]
Contoh praktisnya sebagai berikut: saat tiba waktu istirahat di kantor untuk sholat Zhuhur, ambillah air wudhu, lalu berjalanlah menuju masjid, niatkan langkah Anda sebagai pengorbanan menuju ketaatan pada Allah, sesampai di masjid, hadirkan niat untuk sholat, sekaligus niat untuk menunggu waktu sholat, sekaligus niat untuk i’tikaf di masjid, tambahkan niat untuk ber-‘uzlah (mengasingkan diri) guna menghindari kemaksiatan dan ghibah yang terjadi di kantor. Dari masing-masing niat tersebut, Anda sudah mengumpulkan banyak pahala. Melalui contoh praktis ini, Anda bisa menganalogikannya pada amalan yang lain.
Keempat: Upayakanlah kesempurnaan mutaba’ah. Semakin sungguh-sungguh seorang hamba dalam usaha menyelaraskan diri dengan tuntunan Nabi r baik yang diperintahkan, dianjurkan, atau dicontohkan melalui ucapan dan perbuatan beliaur, maka semakin besar pula pahala yang diraih oleh hamba tersebut.
Contohnya dengan mengerjakan amalan-amalan pada waktu, tempat, dan kondisi yang dianjurkan, seperti; sholat Tarawih di masjid secara berjama’ah di sepertiga malam yang akhir, bermujahadah dalam ibadah di sepuluh malam terakhir Ramadhan, mengkhatamkan al-Qur-aan, dan senantiasa menjaga wudhu.
Namun jika hal tersebut tidak mampu kita lakukan dikarenakan lemahnya fisik, maka upayakanlah kesempurnaan mutaba’ah pada amalan lain seperti; menyempurnakan wudhu sebanyak tiga kali lalu diiringi dengan sholat dua rakaat, beristigfar di waktu sahur, menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, melakukan dzikir muthlaq, dan lain sebagainya dari amalan-amalan yang ringan namun berbobot besar di sisi Allah.
KelimaAmalan wajib harus lebih diutamakan daripada amalan sunnah. Dalil yang melandasi prinsip asasi ini adalah sabda baginda Nabi dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“..tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan yang lebih aku cintai daripada amalan-amalan wajib. Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku mencintainya…”[6]
Hadits ini menunjukkan secara gamblang bahwa amalan wajib lebih dicintai Allah daripada amalan sunnah. Dengan demikian, jelaslah kekeliruan sebagian muslimin yang begitu bersemangat melaksanakan sholat Tarawih berjama’ah di masjid, sementara sholat fardhu mereka tunaikan di rumah masing-masing.
Keenam: Mengutamakan ibadah sunnah yang lebih mampu dilakukan secara berkualitas dan kontinyu daripada bersusah-payah melakukan amalan yang jauh dari kemampuan. Hal ini dipetik dari firman Allah:
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَى سَبِيلا
“Katakanlah: ‘Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing’. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalan-Nya.” [QS. Al-Israa: 84]
Dalam sebuah hadits dari ‘Aisyah radhiallaahu’anha, Rasulullah bersabda:
عَلَيْكُمْ مِنَ الْعَمَلِ مَا تَطِيْقُوْنَ
 “Hati-hatilah kalian dari amalan yang tidak mampu kalian lakukan.”[7]
Maka berdasarkan hal ini, janganlah seorang pemilik harta melimpah yang tidak memiliki ilmu dien yang mumpuni, memaksakan diri dengan hartanya tersebut untuk bisa tampil sebagai da’i Ramadhan di setiap kesempatan. Karena jika dia menggunakan hartanya untuk memberi makanan berbuka bagi orang-orang miskin, tentu itu lebih bermanfaat baginya dari sisi pahala dan keutamaan.
Ketujuh: Melakukan amalan secara konsisten dan kontinyu sekalipun terbilang sedikit secara kuantitas. Janganlah seorang memaksakan diri mengkhatamkan al-Qur-aan dalam tiga hari, sehingga ia luput dari sunnah membaca dengan tartil dan tadabbur, lalu setelah itu dia tidak pernah lagi membaca al-Qur-aan. Karena jika hamba yang bersemangat ini membaca al-Qur-aan walau beberapa ayat saja sesuai kemampuannya, namun disertai tartil, tadabbur, dan konsistensi, tentu itu jauh lebih utama baginya. Karena Rasulullah bersabda:
أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا، وَإِنْ قَلَّ
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling konsisten dan kontinyu, sekalipun hanya sedikit.”[8] 
Demikianlah saudara-saudara yang dirahmati Allah. Beberapa kerangka acuan dalam menyambut Ramadhan, agar amal ibadah kita bisa menelurkan pahala semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang ada pada diri kita masing-masing. Besar harapan akan faidah berharga dari apa-apa yang terurai di atas, dan semoga Allah berkenan mempertemukan kita dengan Ramadhan dalam naungan taufik dan pertolongan-Nya, untuk senantiasa ber-taqarrub demi perjumpaan agung di surga-Nya kelak.


***




Artikel : alhujjah.com


[1] Shahih Muslim no. 783,
[2] Az-Zuhd: 1/113 no. 738, Imam Ahmad, Cet.-1 Darul al-‘Ilmiyyah, 1420
[3] Tafsiir Ibnu Katsiir: 1/693, Cet.-2 Daar Thayyibah 1420-H.
[4] Shahih Muslim no. 1256, lihat juga Shahih Bukhari no. 1782.
[5] Lihat Syarh Shahih Muslim: 13/57, Cet.-2 Daar Ihyaa’ at-Turaats al-‘Arabiy 1392-H.
[6] Shahih Bukhari no. 6502.
[7] Shahih Muslim no. 782.
[8] Shahih Muslim no. 783.
Baca Selanjutnya ..

Senin, 23 Juli 2012

Menjaga Kehormatan Wanita Muslimah


Penyusun: Ummu Uwais dan Ummu Aiman
Muraja’ah: Ustadz Nur Kholis Kurdian, Lc.
Wahai saudariku muslimah, wanita adalah kunci kebaikan suatu umat. Wanita bagaikan batu bata, ia adalah pembangun generasi manusia. Maka jika kaum wanita baik, maka baiklah suatu generasi. Namun sebaliknya, jika kaum wanita itu rusak, maka akan rusak pulalah generasi tersebut.
Maka, engkaulah wahai saudariku… engkaulah pengemban amanah pembangun generasi umat ini. Jadilah engkau wanita muslimah yang sejati, wanita yang senantiasa menjaga kehormatannya. Yang menjunjung tinggi hak Rabb-nya. Yang setia menjalankan sunnah rasul-Nya.
Wanita Berbeda Dengan Laki-Laki
Allah berfirman,
وَمَاخَلَقْتُ الجِنَّ وَ الإِنْسَ إِلاَّلِيَعْبُدُوْنِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”(Qs. Adz-Dzaariyat: 56)
Allah telah menciptakan manusia dalam jenis perempuan dan laki-laki dengan memiliki kewajiban yang sama, yaitu untuk beribadah kepada Allah. Dia telah menempatkan pria dan wanita pada kedudukannya masing-masing sesuai dengan kodratnya. Dalam beberapa hal, sebagian mereka tidak boleh dan tidak bisa menggantikan yang lain.
Keduanya memiliki kedudukan yang sama. Dalam peribadatan, secara umum mereka memiliki hak dan kewajiban yang tidak berbeda. Hanya dalam masalah-masalah tertentu, memang ada perbedaan. Hal itu Allah sesuaikan dengan naluri, tabiat, dan kondisi masing-masing.
Allah mentakdirkan bahwa laki-laki tidaklah sama dengan perempuan, baik dalam bentuk penciptaan, postur tubuh, dan susunan anggota badan.
Allah berfirman,
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأنْثَى
“Dan laki-laki itu tidaklah sama dengan perempuan.” (Qs. Ali Imran: 36)
Karena perbedaan ini, maka Allah mengkhususkan beberapa hukum syar’i bagi kaum laki-laki dan perempuan sesuai dengan bentuk dasar, keahlian dan kemampuannya masing-masing. Allah memberikan hukum-hukum yang menjadi keistimewaan bagi kaum laki-laki, diantaranya bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, kenabian dan kerasulan hanya diberikan kepada kaum laki-laki dan bukan kepada perempuan, laki-laki mendapatkan dua kali lipat dari bagian perempuan dalam hal warisan, dan lain-lain. Sebaliknya, Islam telah memuliakan wanita dengan memerintahkan wanita untuk tetap tinggal dalam rumahnya, serta merawat suami dan anak-anaknya.
Mujahid meriwayatkan bahwa Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata: “Wahai Rasulullah, mengapa kaum laki-laki bisa pergi ke medan perang sedang kami tidak, dan kamipun hanya mendapatkan warisan setengah bagian laki-laki?” Maka turunlah ayat yang artinya, “Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah…” (Qs. An-Nisaa’: 32)” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari, Imam Ahmad, Al-Hakim, dan lain sebagainya)
Saudariku, maka hendaklah kita mengimani apa yang Allah takdirkan, bahwa laki-laki dan perempuan berbeda. Yakinlah, di balik perbedaan ini ada hikmah yang sangat besar, karena Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Mari Menjaga Kehormatan Dengan Berhijab
Berhijab merupakan kewajiban yang harus ditunaikan bagi setiap wanita muslimah. Hijab merupakan salah satu bentuk pemuliaan terhadap wanita yang telah disyariatkan dalam Islam. Dalam mengenakan hijab syar’i haruslah menutupi seluruh tubuh dan menutupi seluruh perhiasan yang dikenakan dari pandangan laki-laki yang bukan mahram. Hal ini sebagaimana tercantum dalam firman Allah Ta’ala:
وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ
“dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya.” (Qs. An-Nuur: 31)
Mengenakan hijab syar’i merupakan amalan yang dilakukan oleh wanita-wanita mukminah dari kalangan sahabiah dan generasi setelahnya. Merupakan keharusan bagi wanita-wanita sekarang yang menisbatkan diri pada islam untuk meneladani jejak wanita-wanita muslimah pendahulu meraka dalam berbagai aspek kehidupan, salah satunya adalah dalam masalah berhijab. Hijab merupakan cermin kesucian diri, kemuliaan yang berhiaskan malu dan kecemburuan (ghirah). Ironisnya, banyak wanita sekarang yang menisbatkan diri pada islam keluar di jalan-jalan dan tempat-tempat umum tanpa mengenakan hijab, tetapi malah bersolek dan bertabaruj tanpa rasa malu. Sampai-sampai sulit dibedakan mana wanita muslim dan mana wanita kafir, sekalipun ada yang memakai kerudung, akan tetapi kerudung tersebut tak ubahnya hanyalah seperti hiasan penutup kepala.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata:
“Semoga Alloh merahmati para wanita generasi pertama yang berhijrah, ketika turun ayat:
“dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya,” (Qs. An-Nuur: 31)
“Maka mereka segera merobek kain panjang/baju mantel mereka untuk kemudian menggunakannya sebagai khimar penutup tubuh bagian atas mereka.”
Subhanallah… jauh sekali keadaan wanita di zaman ini dengan keadaan wanita zaman sahabiah.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa hijab merupakan kewajiban atas diri seorang muslimah dan meninggalkannya menyebabkan dosa yang membinasakan dan mendatangkan dosa-dosa yang lainnya. Sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya hendaknya wanita mukminah bersegera melaksanakan perintah Alloh yang satu ini.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Dan tidaklah patut bagi mukmin dan tidak (pula) bagi mukminah, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, kemudian mereka mempunyai pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya. Maka sungguhlah dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab: 36)
Mengenakan hijab syar’i mempunyai banyak keutamaan, diantaranya:
  1. Menjaga kehormatan.
  2. Membersihkan hati.
  3. Melahirkan akhlaq yang mulia.
  4. Tanda kesucian.
  5. Menjaga rasa malu.
  6. Mencegah dari keinginan dan hasrat syaithoniah.
  7. Menjaga ghirah.
  8. Dan lain-lain. Adapun untuk rincian tentang hijab dapat dilihat pada artikel-artikel sebelumnya.
Kembalilah ke Rumahmu
وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ
“Dan hendaklah kamu tetap berada di rumahmu.” (Qs. Al-Ahzab: 33)
Islam telah memuliakan kaum wanita dengan memerintahkan mereka untuk tetap tinggal dalam rumahnya. Ini merupakan ketentuan yang telah Allah syari’atkan. Oleh karena itu, Allah membebaskan kaum wanita dari beberapa kewajiban syari’at yang di lain sisi diwajibkan kepada kaum laki-laki, diantaranya:
  1. Digugurkan baginya kewajiban menghadiri shalat jum’at dan shalat jama’ah.
  2. Kewajiban menunaikan ibadah haji bagi wanita disyaratkan dengan mahram yang menyertainya.
  3. Wanita tidak berkewajiban berjihad.
Sedangkan keluarnya mereka dari rumah adalah rukhshah (keringanan) yang diberikan karena kebutuhan dan darurat. Maka, hendaklah wanita muslimah tidak sering-sering keluar rumah, apalagi dengan berhias atau memakai wangi-wangian sebagaimana halnya kebiasaan wanita-wanita jahiliyah.
Perintah untuk tetap berada di rumah merupakan hijab bagi kaum wanita dari menampakkan diri di hadapan laki-laki yang bukan mahram dan dari ihtilat. Apabila wanita menampakkan diri di hadapan laki-laki yang bukan mahram maka ia wajib mengenakan hijab yang menutupi seluruh tubuh dan perhiasannya. Dengan menjaga hal ini, maka akan terwujud berbagai tujuan syari’at, yaitu:
  1. Terpeliharanya apa yang menjadi tuntunan fitrah dan kondisi manusia berupa pembagian yang adil diantara hamba-hamba-Nya yaitu kaum wanita memegang urusan rumah tangga sedangkan laki-laki menangani pekerjaan di luar rumah.
  2. Terpeliharanya tujuan syari’at bahwa masyarakat islami adalah masyarakat yang tidak bercampur baur. Kaum wanita memiliki komunitas khusus yaitu di dalam rumah sedang kaum laki-laki memiliki komunitas tersendiri, yaitu di luar rumah.
  3. Memfokuskan kaum wanita untuk melaksanakan kewajibannya dalam rumah tangga dan mendidik generasi mendatang.
Islam adalah agama fitrah, dimana kemaslahatan umum seiring dengan fitrah manusia dan kebahagiaannya. Jadi, Islam tidak memperbolehkan bagi kaum wanita untuk bekerja kecuali sesuai dengan fitrah, tabiat, dan sifat kewanitaannya. Sebab, seorang perempuan adalah seorang istri yang mengemban tugas mengandung, melahirkan, menyusui, mengurus rumah, merawat anak, mendidik generasi umat di madrasah mereka yang pertama, yaitu: ‘Rumah’.
Bahaya Tabarruj Model Jahiliyah
Bersolek merupakan fitrah bagi wanita pada umumnya. Jika bersolek di depan suami, orang tua atau teman-teman sesama wanita maka hal ini tidak mengapa. Namun, wanita sekarang umumnya bersolek dan menampakkan sebagian anggota tubuh serta perhiasan di tempat-tempat umum. Padahal di tempat-tempat umum banyak terdapat laki-laki non mahram yang akan memperhatikan mereka dan keindahan yang ditampakkannya. Seperti itulah yang disebut dengan tabarruj model jahiliyah.
Di zaman sekarang, tabarruj model ini merupakan hal yang sudah dianggap biasa, padahal Allah dan Rasul-Nya mengharamkan yang demikian.
Allah berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap berada di rumahmu, dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti model berhias dan bertingkah lakunya orang-orang jahiliyah dahulu (tabarruj model jahiliyah).” (Qs. Al-Ahzab: 33)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Ada dua golongan ahli neraka yang tidak pernah aku lihat sebelumnya; sekelompok orang yang memegang cambuk seperti ekor sapi yang dipakai untuk mencambuk manusia, dan wanita-wanita yang berpakaian tapi hakikatnya telanjang, mereka berjalan melenggak-lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak bisa mencium aromanya. Sesungguhnya aroma jannah tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)
Bentuk-bentuk tabarruj model jahiliyah diantaranya:
  1. Menampakkan sebagian anggota tubuhnya di hadapan laki-laki non mahram.
  2. Menampakkan perhiasannya,baik semua atau sebagian.
  3. Berjalan dengan dibuat-buat.
  4. Mendayu-dayu dalam berbicara terhadap laki-laki non mahram.
  5. Menghentak-hentakkan kaki agar diketahui perhiasan yang tersembunyi.
Pernikahan, Mahkota Kaum Wanita
Menikah merupakan sunnah para Nabi dan Rasul serta jalan hidup orang-orang mukmin. Menikah merupakan perintah Allah kepada hamba-hamba-Nya:
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Qs. An-Nuur: 32)
Pernikahan merupakan sarana untuk menjaga kesucian dan kehormatan baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu, menikah dapat menentramkan hati dan mencegah diri dari dosa (zina). Hendaknya menikah diniatkan karena mengikuti sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan untuk menjaga agama serta kehormatannya.
Tidak sepantasnya bagi wanita mukminah bercita-cita untuk hidup membujang. Membujang dapat menyebabkan hati senantiasa gelisah, terjerumus dalam banyak dosa, dan menyebabkan terjatuh dalam kehinaan.
Kemaslahatan-kemaslahatan pernikahan:
  1. Menjaga keturunan dan kelangsungan hidup manusia.
  2. Menjaga kehormatan dan kesucian diri.
  3. Memberikan ketentraman bagi dua insan. Ada yang dilindungi dan melindungi. Serta memunculkan kasih sayang bagi keduanya.
Demikianlah beberapa perkara yang harus diperhatikan oleh setiap muslimah agar dirinya tidak terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan dan tidak menjerumuskan orang lain ke dalam dosa dan kemaksiatan. Allahu A’lam.
Referensi:
Menjaga Kehormatan Muslimah, Syaikh Bakar Abu Zaid.
***
Artikel www.muslimah.or.id
Baca Selanjutnya ..

Minggu, 22 Juli 2012

Aku Bangga menjadi Muslimah


Bangganya aku menjadi muslimah, karena Islam yang hadir sebagai rahmatal lil’alamin, menghapus seluruh bentuk kezhaliman-kezhaliman yang menimpa kaumku dan mengangkat derajatku dalam martabat yang manusiawi. Karena kemuliaan Islam yang sangat tinggi pula, maka aku dan kaumku terbebas dari penindasan seperti dijaman jahiliyah. Dijaman itu, dimana kelahiran para wanita selalu di anggap sebagai aib besar bagi keluarga terutama sang ayah. Karena itulah mereka tega mengubur kaumku hidup-hidup dan ada yang membiarkan hidup tetapi dalam keadaan rendah dan hina.

Bahagianya aku menjadi muslimah karena tak ada beda antara kami dan para laki- laki, dalam hal timbangan kemuliaan dan ketinggian martabat di sisi Allah subhanahu wata’ala. Karena kesemuanya itu hanyalah terbedakan atas nama takwa. Allah subhanahu wata’ala menegaskan dalam firman-Nya:

“Barangsiapa yang mengerjakan amalan shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri balasan pula kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl: 97)

Kami tak perlu memaksakan diri menjadi laki- laki dan memasuki "kawasan" laki- laki hanya untuk dianggap lebih mulia, seperti yang di ajarkan oleh paham emansipasi barat. Kami para wanita memiliki tugas sendiri, dan jalan sendiri untuk meraih surga. Rasulullah bersabda: “Jika seorang isteri itu telah menunaikan shalat lima waktu, dan shaum (puasa) di bulan Ramadhan, dan men-jaga kemaluannya dari yang haram serta taat kepada suaminya, maka akan di-persilakan: masuklah ke surga dari pintu mana saja kamu suka.” (HR. Ahmad)

Bangganya aku menjadi muslimah, karena aku tidak terendahkan seperti hewan. Hal itu karena Perintah Robbku yang mengajarkan bahwa wanita haruslah menutup auratnya. Allah  berfirman :

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin : Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal dan oleh karenanya mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Qs. Al-Ahzab: 59).

Namun sebagai manusiawinya seorang wanita, kamipun menyukai berhias. Namun Islam mengajarkan agar kami hanya menjadi perhiasan bagi para suami kami, maka dari itu kamipun berhias diri di rumahnya  sendiri dan hanya untuk suami kami, bukan di  luar  rumah atau di tengah jalan untuk di obral kepada mata- mata jalang, para laki- laki tak beriman.

Tenangnya aku menjadi muslimah, karena Allah mengajarkan kepada para lelaki untuk juga senantiasa menghargai dan memperlakukan aku dan keluargaku dengan baik. Mereka para laki- laki yang Bahkan manusia termulia Rasulullah  bersabda "Sesungguhnya diantara kesempurnaan iman orang-orang Mukmin ialah mereka yang paling bagus akhlaknya dan bersikap lemah lembut terhadap keluarganya".

Umar radhiyallohu'anhu, sahabat Rasulullah  yang dikenal berwatak keras itu bahkan pernah berkata,  "Seyogyanya  sikap  suami  terhadap isterinya seperti anak kecil, tetapi apabila mencari apa yang ada disisinya  (keadaan  yang  sebenarnya)  maka dia adalah seorang laki-laki."

Bahagianya aku menjadi muslimah, karena keadilan bagi kamipun di jamin dalam islam, bahkan dalam urusan harta. Allah memang menentukan bahwa bagian lelaki dari mendapatkan warisan adalah dua kali lipat dari warisan anak wanita, namun syariat ini selaras dengan garis kodrat lelaki yang berkewajiban untuk menafkahi dan memimpin kaum wanita. Dengan demikian, syariat ini adil dan aku sebagai wanita tak perlu merisaukan. Walaupun wanita mendapatkan bagian yang sedikit, namun para wanita seperti aku ini dapat menikmati seorang diri. Ini sesuai dengan firman Allah  berikut ini,

“Kaum lelaki (suami) adalah pemimpin kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum lelaki) atas sebagian lainnya (kaum wanita), dan karena mereka (kaum lelaki) memberikan nafkah dari hartanya.” (QS. An-Nisa: 34)

Sungguh masih banyak kemuliaan islam yang mengangkat derajat aku dan kaumku sebagai wanita. Betapa hanya islam yang mengindahkanku dan memuliakanku menjadi wanita yang lebih mulia. Sungguh hanya islam yang bisa aku jadikan pedoman hidup terbaik, untuk aku wariskan kepada keturunanku, dan hanya dengan islam ketenangan dan kesejukan hidup menjadi seorang wanita itu terasa. Lalu bagaimana aku tak bangga menjadi muslimah?
(Syahidah)

Baca Selanjutnya ..