Jumat, 08 Februari 2013

Jangan Mudah Memutuskan Halal dan Haram

Ustadz Ashim bin Mushthofa

وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka adzab yang pedih. [an-Nahl /16 : 116-117]

PENJELASAN AYAT

Budaya Jahiliyah, Mengatur Penetapan Hukum Dengan Hawa Nafsu.

Budaya bangsa Jahiliyah yang berlawanan dengan ajaran Islam sungguh banyak. Islam datang untuk menghapuskannya supaya umat manusia selalu berada di atas fitrah penciptaannya.

Ayat di atas membicarakan salah satu dari sekian banyak budaya jahiliyyah yang berkembang di tengah masyarakat zaman dulu, sebelum akhirnya terhapus syariat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Yakni, mengharamkan dan menghalalkan sesuatu tanpa mengindahkan dan tanpa merujuk kepada wahyu ilahi maupun ketetapan-ketetapan hukum samawi lainnya yang berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, Yang Maha Mengetahui kemaslahatan seluruh makhluk. Padahal, mereka mengklaim sebagai para penganut ajaran Nabi Ibraahim Alaihissallam. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang umat Islam mengikuti jalan kaum musyrikin tersebut.[1]

Realita yang terjadi, mereka mengharamkan hal-hal yang dihalalkan, dan sebaliknya menghalalkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah al-Khaaliq. Mereka menetapkan hukum-hukum halal dan haram sesuai dengan hawa nafsunya. Dengan tindakan ini, mereka telah melakukan iftirâ ‘alallah ta’ala (kedustaan atas nama Allah Ta’ala).

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan substansi ayat di atas melalui beberapa ayat lainnya. Di antaranya:

قُلْ هَلُمَّ شُهَدَاءَكُمُ الَّذِينَ يَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ حَرَّمَ هَٰذَا ۖ فَإِنْ شَهِدُوا فَلَا تَشْهَدْ مَعَهُمْ

Katakanlah: “Bawalah kemari saksi-saksi kamu yang dapat mempersaksikan bahwasanya Allah telah mengharamkan (makanan yang kamu) haramkan ini”. Jika mereka mempersaksikan, maka janganlah kamu ikut (pula) menjadi saksi bersama mereka;… [al-An'âm/6 : 150]

Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:

قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ

Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” [Yûnus/10 : 59].

Pengertian ayat ini -an-Nahl/16 ayat 116-117- akan kian jelas dengan memperhatikan ayat sebelumnya. Bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar mereka memakan makanan-makanan yang baik-baik lagi halal. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

Maka makanlah yang halal lagi baik dari rizki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. [an-Nahl/16 : 114].

Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan hal-hal yang diharamkan atas diri mereka dalam ayat berikutnya:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barang siapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an-Nahl/16 : 115].

Kenyataannya, justru tidak sejalan dengan apa yang telah dinyatakan oleh Allah al-Hakam (Dzat Yang Maha Menentukan hukum) dalam ayat tersebut. Mereka justru menghalalkan bangkai, darah dan binatang-binatang yang mereka sembelih tanpa dengan menyebut nama Allah Ta’ala. Dan sebaliknya, mereka mengharamkan pemanfaatan binatang-binatang, baik untuk dikonsumsi maupun sebagai tunggangan, yang sebenarnya dihalalkan bagi umat manusia.

Sebagai contoh, sebagaimana tertuang dalam firman Allah Ta’ala berikut ini:

مَا جَعَلَ اللَّهُ مِنْ بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ وَلَا وَصِيلَةٍ وَلَا حَامٍ ۙ وَلَٰكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۖ وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

Allah sekali-kali tidak pernah mensyari’atkan adanya bahîrah, sâibah, washîlah dan hâm. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti. [al-Mâ`idah/5:103][2].

Demikianlah, konsep halal-haram di mata orang-orang Jahiliyyah pada masa lalu. Syaikh Shâlih al-Fauzân –hafizhahullah- menyatakan, yang menjadi biang keladi dalam masalah ini, ialah karena adanya perangkap nafsu dan syahwat serta doktrin tokoh-tokoh besar mereka [3].

Ringkasnya, permulaan ayat ini melarang seseorang untuk menjatuhkan penilaian tentang halal dan haram terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak dihalalkan atau diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena hal itu merupakan kedustaan dan kebohongan dengan mengatasnamakan Allah Ta’ala.[4]

Melebihi Kesalahan Perbuatan Syirik

Tak diragukan, perbuatan syirik merupakan perbuatan dosa yang sangat besar dan merupakan kesalahan sangat fatal. Perbuatan syirik ini, lantaran mengandung perbuatan yang menyamakan antara al-Khaaliq Yang Maha Sempurna dari segala sisi dengan makhluk yang sarat dengan segala kelemahan dari setiap sisi. Namun, telah diberitakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa ada dosa yang lebih tinggi derajat keburukannya dibandingkan syirik. Dosa itu ialah berdusta atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena, sebenarnya, seluruh maksiat berawal dari kedustaan atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui”. [al-An'âm/7:33].

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Allah mengharamkan berkata atas nama Allah tanpa dasar ilmu dalam urusan fatwa atau hukum pengadilan. Dia mengkategorikannya termasuk perkara haram yang terbesar. Bahkan menempatkannya di urutan pertama [5]. Karena urutan perkara-perkara yang diharamkan dalam ayat di atas secara at-ta’âli (dari urutan rendah menuju peringkat terparah) [6].

Pangkal Dari Suatu Musibah

Gejala memprihatinkan ini, jelas berpangkal dari faktor tertentu. Bukan merupakan peristiwa yang terjadi begitu saja tanpa sebab-musabab. Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah menunjuk fenomena at-ta’âlum (sok pintar) sebagai faktor utama. Yakni, sifat merasa lebih mengetahui, merasa memiliki kapabilitas mengeluarkan fatwa atau menjawab, padahal kemampuannya masih sangat jauh dan penuh kekurangan.

Kata Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah : “Sesungguhnya at-ta’âlum merupakan pintu masuk menuju ‘berkata atas nama Allah tanpa dasar ilmu’. Tidak itu saja, ta’âlum, keganjilan pendapat, mencari-cari rukhshah, fanatisme buta; semua itu merupakan pintu-pintu menuju kejahatan berkata atas nama Allah tanpa ilmu”.[7]

Berfatwa merupakan kedudukan yang penting. Dalam fatwa ini, seseorang mencoba untuk menyelesaikan masalah yang dihadapai seseorang atau masyarakat. Karena kuatnya pengaruh tindakan –pemberian fatwa- ini, maka tidak ada yang boleh menyampaikan fatwa kecuali orang-orang yang memang telah mencapai kemampuan ilmiah tertentu, bukan sembarangan orang.[8]

Ahli Bid’ah Terancam Oleh Ayat Ini

Imam Ibnu Katsiir rahimahullah berkata: “Termasuk dalam konteks ayat ini, yaitu setiap orang yang melakukan perbuatan bid’ah” [9]. Alasannya sangat jelas. Yakni, mereka menambah-nambahkan sesuatu dengan beranggapan bahwa semua yang mereka tetapkan merupakan bagian dari agama Islam, setelah mengganggapnya sebagai perbuatan baik, padahal syariat tidak mengatakannya.

Ancaman Berat Terhadap Pelaku yang Berdusta Mengatasnamakan Allah

Manakala suatu perbuatan salah sudah menempati level yang sangat membahayakan, maka tak aneh jika balasannya pun sangat berat. Untuk perbuatan dusta atas nama Allah Ta’ala dengan menghalalkan atau mengharamkan secara serampangan, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan balasannya sebagaimana tertera dalam firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

…Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka adzab yang pedih. [an-Nahl /16:116-117].

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyampaikan ancaman terhadap perbuatan dusta yang mengatas namakan nama-Nya dalam hukum-hukum syar’i. Juga terhadap pernyataan mereka tentang perkara yang tidak diharamkan “ini haram”, atau pada perkara yang tidak dihalalkan “ini halal”. Ayat ini menjadi penjelasan dari Allah Ta’ala, bahwa seorang hamba tidak boleh mengatakan halal atau haram, kecuali setelah mengetahui bahwa Allah menghalalkan atau mengharamkannya [10].

Mereka tidak akan beruntung di dunia maupun di akhirat. Dan pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menampakkan kehinaan mereka. Meskipun mereka menikmati hidup dengan nyaman di dunia ini, akan tetapi itu hanyalah kenikmatan sekejap. Tempat kembali mereka adalah neraka. Di sana, bagi mereka siksaan yang pedih.[11]

Pengendalian Berkata Atas Nama Allah Tanpa Ilmu

Di tengah masyarakat, kita dapat menyaksikan banyak bertebaran fatwa-fatwa tanpa dasar yang dibenarkan. Anehnya, orang-orang berusaha menahan diri berbicara (berpendapat) dalam disiplin ilmu-ilmu umum di hadapan para ahlinya. Konkretnya, seorang yang bukan dokter merasa tidak nyaman berbicara dalam masalah-masalah kedokteran di hadapan dokter. Atau bukan arsitek merasa tidak nyaman berbicara tentang arsitektur di hadapan seorang insiyur. Namun, sikap serupa tidak disaksikan dalam urusan-urusan agama. Sifat merasa lebih mengetahui terlalu menonjol. Padahal mereka meyakini Allah Maha Mendengar segala perkataan, Maha Melihat saat mengeluarkan hukum, penilaian maupun fatwa [12].

Pendapat-pendapat ganjil pun mengemuka. Bahkan terkadang sangat menggelikan, hingga benar-benar memperlihatkan betapa dangkal ilmu yang dimilikinya. Kekacauan sudah menjalar dimana-mana. Jadi, solusi “problematika sosial” yang sudah mewabah dan tak bisa dianggap ringan ini -yang juga merupakan solusi bagi seluruh masalah- ialah menanamkan rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meningkatkan kadar ketakwaan, hingga terbentuk mentalitas wajib menahan diri tidak berbicara atau tidak menjawab dan tidak mengeluarkan fatwa jika benar-benar tidak mengetahui apa-apa, atau hanya setengah tahu. Dan hendaklah dimengerti, bahwa Allah-lah yang berhak menetapkan dan menciptakan (al-khalqu wal-amru). Tidak ada pencipta selain-Nya. Tidak ada syariat bagi makhluk selain syariat-Nya. Dia-lah yang berhak mewajibkan sesuatu, mengharamkannya, menganjurkan dan menghalalkan.

Oleh karena itu, jika seseorang ditanya permasalahan yang tidak diketahuinya, hendaklah dengan lantang menjawab tanpa malu-malu dan mengatakan “aku tidak tahu, aku belum tahu, tanya orang lain saja”. Jawaban seperti ini justru menunjukkan kesempurnaan akalnya, kebaikan iman dan ketakwaannya, serta kesopanan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala[13].

Kehati-Hatian Generasi Salaf dalam Masalah Ini [14]

Dahulu, para generasi Ulama Salaf, mereka bersikap wara` (menjaga diri) dalam mengeluarkan pernyataan “ini halal dan itu haram”, lantaran takut terhadap ayat di atas. Selain itu, ialah untuk menunjukkan tingginya sopan santun mereka di hadapan Allah dan Rasul-Nya, yang berhak menetapkan hukum atas umat manusia, padahal mereka mengetahui dalil penghalalan atau pengharamannya dengan jelas.

Imam Maalik rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari Qabîshah bin Dzuaib, bahwasanya ada seorang lelaki yang bertanya kepada ‘Utsmân bin ‘Affân Radhiyallahu anhu mengenai dua perempuan bersaudara yang sebelumnya berstatus sebagai budak. ‘Utsmân Radhiyallahu anhu menjawab: “Sebuah ayat menghalalkannya, dan ayat lain telah mengharamkannya. Adapun saya, tidak suka untuk melakukannya”[15].

Imam al-Qurthubi rahimahullah meriwayatkan: ad-Dârimi berkata dalam Musnad-nya: Harun telah memberitahukan kepada kami dari Hafsh dari al-A’masy, ia berkata: “Aku belum pernah mendengar Ibrâhîm (an-Nakha`i) berkata ‘(Ini) halal atau haram,’ akan tetapi ia mengatakan (bila menghukumi): ‘Dahulu, orang-orang tidak menyukainya. Atau dahulu, orang-orang menyukainya’.” [16]

Ibnu Wahb rahimahullah berkata dari Imam Mâlik rahimahullah : “Tidaklah menjadi kebiasaan orang-orang (sekarang) atau orang-orang yang telah berlalu, juga bukan menjadi kebiasaan orang-orang yang aku ikuti untuk mengatakan ‘ini halal, itu haram’. Mereka tidak berani untuk melakukannya. Kala itu, mereka hanya mengatakan nakrahu kadza (kami tidak menyukainya), naraahu hasanan (kami melihatnya baik), nattaqî hadza (kami menghindarinya), walâ narâ hâdza (kami tidak berpandangan demikian)”.

Dalam riwayat lain: “Mereka tidak mengatakan ‘ini halal atau haram’. Tidakkah engkau mendengar Allah berfirman (yang artinya): Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” -Qs. Yûnus/10 ayat 59- lantas beliau berkata: “Yang halal adalah semua yang dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Yang haram adalah semua yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya”[17].

Dalam kitab al-Umm, Imam asy-Syâfi’i rahimahullah sering mengatakan ahabbu ilayya, uhibbu, akrahu dan lafazh-lafazh semisal lainnya untuk menilai berbagai macam perkara. Wallahu a’lam.

PELAJARAN DARI AYAT

1. Haram menetapkan halal dan haram tanpa dasar syar’i, qath’i maupun zhanni, kecuali yang sudah hampir diyakini sebagai hal yang diharamkan.

2. Haram berdusta atas nama Allah Ta’ala.

3. Orang yang berdusta atas nama Allah Ta’ala, ia tidak akan beruntung di akhirat kelak. Sementara di dunia, ia akan dirundung oleh kehinaan.

4. Wajib menjaga lisan dan berhati-hati dalam berbicara.

5. Ahli bid’ah diancam dengan ayat di atas. Wallahu a’lam

Maraaji’:

1. Aisarut-Tafâsîr, Abu Bakar Jâbir al-Jazâiri, Maktabah ‘Ulum wal-Hikam, Madinah.

2. Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur`ân (Tafsir al-Qurthubi), Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi, Tahqîq: ‘Abdur-Razzâq al-Mahdi, Dârul-Kitâbil-’Arabi, Cetakan IV, Tahun 1422 H – 2001 M.

3. I’laamul Muwaqqi’în ‘An Rabbil ‘Alamîn Ibnul Qayyim, Tahqîq: Abu ‘Ubaidah Masyhuur bin Hasan Alu Salmaan Daar, Ibnu Jauzi, Cet. I, Th. 1423H.

4. Kitâbul-’Ilmi, Syaikh al-Utsaimîn, ats-Tsurayya, I, 1420H-1999M.

5. Ma’âlimut-Tanzîl, Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ûd al-Baghawi, Tahqîq dan Takhrîj: Muhammad ‘Abdullah an-Namr, ‘Utsmân Jum’ah Dhumairiyyah, dan Sulaimân Muslim al-Kharsy, Dâr Thaibah, Tahun 1411 H.

6. Tafsîrul-Qur`ânil-’Azhîm, al-Hâfizh Abul-Fidâ Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsîr al-Qurasyi, Tahqîq: Sâmi bin Muhammad as-Salâmah, Dar Thaibah, Cetakan I, Tahun 1422 H – 2002 M.

7. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, ‘Allâmah Syaikh Abdur-Rahmân bin Nâshir as-Sa’di, Dârul-Mughni, Riyadh, Cet. I, Th. 1419 H – 1999 M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/Ramadhan 1429/2008M.

Sumber: Almanhaj

_______

Footnote

[1]. Tafsîrul-Qur`ânil-’Azhîm (4/609), Aisarut-Tafâsir (1/326).

[2]. Bahîrah, Sâibah, Washîlah dan Hâm, adalah sebutan untuk hewan ternak dalam kondisi tertentu. Kaum Jahiliyah mengharamkan pemanfaatannya sama sekali. Tentang makna istilah-istilah di atas, lihat footnote Al-Qur`ân Terjemah yang diterbitkan Departemen Agama RI pada ayat tersebut. Contoh sikap pengharaman lainnya, silahkan lihat Qs. al-An’âm/6 ayat 138, 139, 140.

[3]. Lihat kitab al-Ath’imah wa Ahkâmish Shaidi wadz-Dzabâ`ih, karya Syaikh Dr. Shâlih al-Fauzân, Maktabah al-Ma’ârif, Riyadh, Cetakan II, Tahun 1419H-1999M, hlm. 26.

[4]. Taisîrul-Karîmir-Rahmân (451), al-Jalâlain, hlm. 575.

[5]. I’lâmul-Muwaqqi’în, 2/73.

[6]. At-Ta’âlum wa Atsaruhu ‘alal Fikri wal-Kitâb, Dr. Bakr Abu Zaid, Dârul-’Ashimah, Cetakan IV, Tahun 1418 H.

[7]. Ibid.

[8]. Kitâbul-’Ilmi, Syaikh al-Utsaimîn, ats-Tsurayya, I, 1420-1999, hlm. 75.

[9]. Tafsîrul-Qur`ânil-’Azhîm, 4/609.

[10]. I’lâmul-Muwaqqi’iin, 2/ 73-74.

[11]. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, 451.

[12]. Lihat Hashâ`idul-Alsun, Syaikh Husain al-’Awayisyah, Daarul-Hijrah, Cet. I, Th. 1412H-1992M, hlm. 51.

[13]. Kitâbul-’Ilmi, hlm. 77.

[14]. I’lâmul-Muwaqqi’în (2/75-77), Adhwâ`ul-Bayân (3/347), Riyâdhush-Shâlihin (Bahjatun-Naazhirîn).

[15]. Isnadnya shahîh. Lihat al-Muwaththa (2/538), al-Umm (5/3), al-Baihaqi (7/163). Dinukil dari catatan kaki di I’lâmul-Muwaqqi’în, 2/75. Dalam riwayat ini, ‘Utsmân Radhiyallahu anhu dengan kehati-hatiannya menisbatkan penghalalan dan pengharaman kepada nash Al-Qur`ân, bukan kepada dirinya, Pen.

[16]. Al-Jâmi li Ahkâmil-Qur`ân.

[17]. I’lâmul-Muwaqqi’în, 2

__._
Baca Selanjutnya ..

Hadiah, Gratifikasi dan Suap

UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi masih membuka peluang besar bagi timbulnya suap. SyariatIslam telah menetapkan aturan yang menutup rapat semua celah terjadinya suap. Pejabat yang disuap dan yang menyuap sama-sama dilaknat.

 Hubungan harmonis dalam masyarakat adalah sumber kejayaan umat. Sebaliknya, perpecahan adalah awal kehancuran umat. Allah berfirman, yang artinya, “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)

Syariat mengajarkan berbagai kiat merajut persatuan. Kiat menyuburkan kasih sayang antara dua insan adalah saling memberi hadiah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda, “Hendaknya kalian saling memberi hadiah, karena hadiah dapat menghilangkan kebencian yang ada dalam dada. Janganlah seorang wanita meremehkan arti suatu hadiah yang ia berikan kepada tetangganya, walau hanya berupa kikil (kaki) kambing.” (HR. At-Turmudzi). Dengan jelas hadis ini menggambarkan fungsi hadiah dalam syariat Islam. Anjuran saling memberi hadiah bertujuan mempererat hubungan kasih sayang dan mengikis segala bentuk jurang pemisah antara pemberi dan penerima hadiah.

Hadiah bagi Pejabat

Mencermati dalil tersebut, juga lainnya, dapat disimpulkan, konsep memberi hadiah dalam syariat Islam benar-benar berlatar belakang sosial, tanpa embel-embel komersial. Makna inilah yang secara tegas dinyatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadisnya tentang fungsi hadiah yang benar-benar hadiah, “Hendaknya kalian saling bertukar hadiah agar kalian saling mencintai.” (Bukhari dalam kitab Adab Mufrad)

Penjelasan tersebut mendorong kita untuk mengoreksi berbagai hadiah, yang kita berikan dan hadiah yang kita terima. Rasa sungkan, keinginan membangun relasi bisnis, dan pengaruh pamprih lain, lebih melandasi seseorang memberi hadiah. Mungkin inilah mengapa hadiah tidak pernah singgah ke rumah orang tak berpangkat dan miskin, walaupun dia patuh beragama. Sebaliknya, berbagai jenis hadiah membanjir ke orang berpangkat atau kaya walau buruk agamanya.

Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melimpahkan tugas ke seorang lelaki untuk memungut sedekah. Tapi utusan itu ternyata menerima hadiah dari penyetor zakat. Seusai melakukan tugasnya, lelaki tersebut berkata, Wahai Rasulullah, harta ini adalah hasil kerjaku dan aku serahkan kepadamu. Sedangkan harta ini adalah hadiah yang aku dapatkan.

Menanggapi sikap utusan tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda, “Mengapa engkau tidak duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu lihatlah adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?” Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dan berkhutbah, Amma ba’du:Mengapa seorang utusan yang aku beri tugas lalu ketika pulang ia berkata, ‘Ini hasil tugasku sedangkan ini adalah hadiah milikku?’ Tidakkah ia duduk saja di rumah ayah dan ibunya, lalu dia lihat adakah ia mendapatkan hadiah atau tidak. Sungguh demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman-Nya, tidaklah ada seorang dari kalian yang mengambil sesuatu tanpa haknya (korupsi), melainkan kelak pada hari kiamat ia akan memikul harta korupsinya. Bila dia mengambil seekor unta, maka dia membawauntanya dalam keadaan bersuara. Bila ia mengambil sapi, maka ia membawa sapinya itu yang terus melenguh (bersuara). Dan bila yang dia ambil adalah seekor kambing, maka dia membawa kambingnya itu yang terus mengembik. Sungguh aku telah menyampaikan peringatan ini.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dalam hadis tersebut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan standar yang jelas dalam hal hadiah. Hadiah yang diterima karena peran atau jabatan yang seseorang pangku hakekatnya gratifikasi, dan tentu hukumnya haram. Dalam hadis itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara hadiah yang datang sebelum menjalankan tugas dan hadiah yang datang setelah menjalankan tugas. Karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Tidakkah engkau duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu lihatlah adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?” Dalam hadis lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan ketentuan ini melalui sabdanya, “Hadiah para pejabat adalah korupsi.” (HR. Ahmad dan lainnya)

Hadis tersebut selain menekankan pemahaman mengenai ketentuan hadiah, juga menjelaskan segala bentuk hadiah, baik berupa barang, uang, atau lainnya, statusnya sebagai suap. Sebagaimana hadiah bagi pejabat dianggap gratifikasi, walaupun pejabat itu menjalankan tugasnya secara profesional dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Ketentuan gratifikasi secara syariat tentu lebih luas daripada ketentuan dalam Pasal 5 Undang-undang No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam UU tersebut, hadiah hanya dianggap gratifikasi bila dengan maksud pegawai terkait melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Atau hadiah tersebut diberikan terkait dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban. Baik kewajiban itu dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Bila Anda renungkan, Anda pasti merasakan bahwa syariat Islam dalam urusan gratifikasi lebih tegas dan lebih jelas. Dengan pemahaman gratifikasi secara syariah, segala celah praktek gratifikasi dapat dicegah dan ditanggulangi. Sedangkan UU No. 20/2001 masih menyisakan celah sangat lebar bagi pemberian gartifikasi. Dalam UU tersebut, suatu hadiah dianggap gratifikasi bila dengan maksud buruk, yaitu agar penerimanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajibannya.

Anda pasti menyadari bahwa niat dan tujuan adalah sesuatu yang tidak kasat mata, karena tersimpan dalam hati, sehingga sulit dibuktikan. Sebagaimana batasan “bertentangan dengan kewajiban”  juga rentan membuka celah gratifikasi, mengingat hal itu berbeda-beda, selaras dengan perbedaan pemahaman masing-masing pejabat.

Hak Pejabat

Tentu Anda merasa berutang budi ketka mendapatkan layanan dari seorang pejabat. Baik layanan berkaitan dengan proyek Anda atau urusan pribadi lainnya. Dan biasanya Anda ingin mengungkapkan rasa terima kasih Anda kepada pejabat tersebut dengan memberinya hadiah. Sebagaimana pejabat terkait sering kali juga merasa telah berjasa kepada Anda yang telah mendapatkan layanannya, kerenanya ia merasa berhak untuk mendapatkan balas budi atas jasanya.

Apa yang Anda rasakan dan yang dirasakan oleh pejabat, walaupun itu suara batin banyak orang atau setiap orang, namun sejatinya tidak pada tempatnya. Betapa tidak. Pejabat telah mendapatkan imbalan atas pekerjaannya, berupa gaji yang diberikan oleh instansi atau perusahaan tempat dia bekerja. Dengan demikian, sejatinya ia tidak berhak mengambil imbalan selain yang telah ia sepakati dengan instansi atau perusahaan tempat dia bekerja.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  menjelaskan fakta tersebut dalam sabdanya, “Barang siapa yang kami limpahi tugas atas suatu pekerjaaan, hendaknya ia menyerahkan semua yang ia peroleh, sedikit ataupun banyak. Selanjutnya imbalan apa pun yang (kami) berikan kepadanya atas pekerjannya itu, silahkan ia ambil. Sedangkan segala yang ia dilarang darinya hendaknya ia tidak mengambilnya.” (HR. Muslim)

Adanya hadiah yang diberikan kepada pejabat sebagai wujud terima kasih atas layanannya dapat dipastikan menjadi biang hilangnya amanah dan keadilan, sebagaimana yang kita rasakan di negeri kita. Karena itu guna menegakkan keadilan di tengah masyarakat, Islam mengharamkan segala bentuk hadiah yang diberikan kepada pejabat.

Dosa Penyuap

Sebagai rakyat atau orang yang tidak memangku jabatan, mungkin Anda berkata, dosa suap hanyalah dipikul pejabat yang menerimanya, sedangkan pemberi suap dapat melanggang kangkung karena bebas dari jerat dosa suap.

Saudaraku, persangkaan Anda tidak benar. Sebagai bukti, simaklah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  berikut: “Semoga laknat Allah menimpa penyuap dan penerima suap.” (HR. Ibnu Majah). Karena itu, Anda sebagai penyuap dan yang disuap, sama. Anda juga dilaknat.

Semoga paparan ini dapat menuntun Anda untuk membedakan antara hadiah yang benar-benar bernilai hadiah dari hadiah yang berfungsi sebagai suap. Semoga Allah Ta’ala senantiasa melindungi kita semua dari berbagai praktek menyeleweng dari syariat-Nya. Wallahu Ta’ala a’alam bisshawab. (PM)


Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A.

(Rubrik Fikih Muamalah Edisi 27/Mei 2012)


source : pengusahamuslim.com

Baca Selanjutnya ..

Qawaid Hisab (1)

Allah menetapkan balasan bagi amal perbuatan para hamba sebagai tuntutan dari hikmahNya, dan Allah tidak membalas amalan para hamba kecuali sesudah menghisabnya secara cermat dan cepat sebagai konsekuensi keadilanNya. Seandainya Allah mengazab seluruh makhlukNya niscaya Dia tidak berbuat zhalim, karena mereka adalah maklukNya dan pencipta makhluk berhak bertindak terhadap makhluknya sesuai dengan kehendakNya. Akan tetapi Allah tidak melakukan itu, Dia tetap menghisab hamba-hambaNya dengan adil, keadilan sempurna yang tidak pernah disaksikan oleh seluruh manusia.

Allah telah menjelaskan di dalam banyak ayat dari kitabNya tentang dasar-dasar hisabNya atas para hamba, di antaranya:

Keadilan sempurna

Pada Hari Kiamat Allah Ta’ala memberikan balasan amal perbuatan manusia secara sempurna, tanpa ada pengurangan dan penyunatan, tidak ada jiwa yang dizhalimi walaupun seberat semut hitam atau sekulit ari.

Firman Allah,

ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ [البقرة/281]

“Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (Al-Baqarah: 281).

Firman Allah melalui wasiat Luqman kepada anaknya,

يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ [لقمان/16]

"Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” (Luqman: 16).

Dan masih banyak ayat al-Qur`an yang menetapkan bahwa Allah tidak menzhalimi manusia, masing-masing diberi balasan sesuai dengan perbuatannya tanpa dikurangi sedikit pun.

Seseorang tidak memikul dosa orang lain

Allah membalas perbuatan manusia, yang baik mendapatkan balasan baik, yang selain itu mendapatkan balasan sesuai dengannya, Allah tidak memikulkan dosa seseorang kepada orang lain.

Firman Allah,

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ [الأنعام/164]

“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakanNya kepadamu apa yang kamu perselisihkan." (Al-An’am: 164).

Inilah keadilan tertinggi, orang yang mendapatkan petunjuk memetik buah petunjuk dan orang yang tersesat memanen buah kesesatannya,

مَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا [الإسراء/15]

“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri, dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Al-Isra`: 15).

Kaidah besar ini termasuk perkara yang disepakati oleh risalah samawi, Allah berfirman,

أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ مُوسَى (36) وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى (37) أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (38) وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (39) وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى (40) ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَى (41) [النجم/36-42]

“Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa? Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.” (An-Najm: 36-41).

Allah Ta’ala membeber amal perbuatan di depan pelakunya

Di antara keadilan Allah adalah bahwa Dia membeber amal perbuatan manusia yang baik dan yang buruk, sehingga mereka bisa menjadi pengadil bagi diri mereka sendiri, setelah itu tidak ada alasan bagi siapa pun.

Pembeberan ini dengan diberikannya buku catatan amal manusia dan mereka membacanya, seperti kita ketahui bahwa Allah menugaskan dua malaikat yang mencatat amal perbuatan manusia, jika yang bersangkutan mati maka buku tersebut ditutup, dan pada Hari Kiamat buku tersebut diberikan kepada pemiliknya.

Firman Allah,

وَكُلَّ إِنْسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا [الإسراء/13]

“Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya, dan Kami keluarkan baginya pada Hari Kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.” (Al-Isra`: 13).

Buku catatan ini mencatat segalanya, besar maupun kecil, tidak membiarkan apa pun kecuali ia merekamnya,

وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا [الكهف/49]

“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, ‘Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya, dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis), dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang pun." (Al-Kahfi: 49).

Dari al-Qiyamah al-Kubra, Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar dan Rihlah ila ad-Dar al-Akhirah, Syaikh Mahmud al-Mishri.
Baca Selanjutnya ..