(ditulis oleh: Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)
Muhasabah (introspeksi) pada jiwa ada dua macam: sebelum beramal dan
setelah beramal.
Muhasabah sebelum beramal yaitu hendaknya seseorang menahan diri dari
keinginan dan tekadnya untuk beramal, tidak terburu-buru berbuat
hingga jelas baginya bahwa jika ia mengamalkannya akan lebih baik
daripada meninggalkannya.
Al-Hasan t mengatakan: “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang
berhenti (untuk muhasabah) saat bertekad (untuk berbuat sesuatu). Jika
(amalnya) karena Allah, maka ia terus melaksanakannya dan jika karena
selain-Nya ia mengurungkannya.”
Sebagian mereka (ulama) menjabarkan ucapan beliau seraya mengatakan:
“Jika jiwa tergerak untuk mengerjakan suatu amalan dan seorang hamba
bertekad melakukannya, maka ia (mestinya) berhenti sejenak dan
melihat, apakah amalan itu dalam kemampuannya atau tidak? Jika tidak
dalam kemampuannya maka tidak dilakukan, tapi kalau mampu maka ia
berhenti lagi untuk melihat apakah melakukannya lebih baik daripada
meninggalkannya atau (bahkan) meninggalkannya lebih baik?
Kalau (keadaannya adalah) yang kedua maka ia tidak melakukannya. Kalau
yang pertama maka ia berhenti untuk ketiga kalinya dan melihat: apakah
pendorongnya adalah keinginan mendapatkan wajah Allah I dan pahalanya
atau sekedar kedudukan, pujian dan harta dari makhluk? Kalau yang
kedua maka ia tidak melakukannya walaupun akan menyampaikan pada
keinginannya, agar supaya jiwa tidak terbiasa berbuat syirik dan tidak
terasa ringan untuk beramal demi selain Allah . Karena seukuran
ringannya dalam beramal untuk selain Allah , seukuran itu pula
beratnya dalam beramal untuk Allah , hingga hal itu menjadi sesuatu
yang paling berat buatnya.
Kalau ternyata pendorong amalnya adalah karena Allah, maka ia
berhenti lagi dan melihat: apakah ia akan dibantu dan ia dapati
orang-orang yang membantunya –jika amalan itu memang membutuhkan
bantuan orang lain– atau tidak ia dapatkan? Kalau tidak didapati yang
membantu, hendaknya ia menahan dari amalan tersebut. Sebagaimana Nabi
menahan diri untuk berjihad ketika di Makkah hingga beliau
mendapatkan orang yang membantunya dan punya kekuatan. Kalau ia
mendapatkan orang yang membantu, maka lakukanlah, niscaya ia akan
ditolong. Dan keberhasilan tidak akan lepas kecuali dari orang yang
melewatkan satu perkara dari perkara-perkara tadi. Jika tidak, maka
dengan terkumpulnya semua perkara itu niscaya takkan lepas
keberhasilannya.”
Demikian empat keadaan yang seseorang butuh untuk memuhasabah jiwanya
sebelum beramal. Tidak semua yang ingin dilakukan oleh seorang hamba
itu mampu dilakukan, dan tidak setiap yang mampu dilakukan itu berarti
melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya. Dan tidak setiap
yang demikian itu ia lakukan karena Allah . Tidak pula setiap yang
dilakukan karena Allah , ia akan mendapatkan bantuan. Maka jika ia
bermuhasabah pada dirinya, akan jelas baginya apa yang dilakukan dan
apa yang akan ditinggalkan.
Berikutnya adalah muhasabah setelah beramal, terbagi dalam tiga macam:
Pertama:
muhasabah pada amal ketaatan yang ia tidak memenuhi hak Allah
padanya, di mana ia tidak melakukannya sebagaimana semestinya.
Hak Allah pada sebuah amal ketaatan ada enam: ikhlas dalam beramal,
niat baik kepada Allah, mengikuti Rasulullah , berbuat baik padanya,
mengakui nikmat Allah I padanya, menyaksikan adanya kekurangan pada
dirinya dalam beramal. Setelah itu semua maka ia memuhasabah dirinya,
apakah ia memenuhi hak-hak itu dan apakah ia melakukannya ketika
melakukan ketaatan itu?
Kedua:
muhasabah jiwa dalam setiap amalan yang lebih baik ditinggalkan
daripada dikerjakan.
Ketiga:
muhasabah jiwa dalam perkara yang mubah atau yang biasa.
Mengapa ia melakukannya? Apakah ia niatkan karena Allah dan negeri
akhirat, sehingga ia beruntung? Atau ia inginkan dengannya dunia dan
balasannya yang cepat sehingga ia kehilangan keberuntungan itu?
Orang yang membiarkan amalnya, tidak bermuhasabah, berlarut-larut
serta memudah-mudahkan perkaranya, sungguh ini akan menyampaikan
dirinya kepada kebinasaan. Inilah kondisi orang-orang yang tertipu. Ia
pejamkan dua matanya untuk melihat akibat amalannya, membiarkan
berlalu keadaannya dan hanya bersandar pada ampunan, sehingga ia tidak
bermuhasabah dan tidak melihat akibat amalnya. Kalau ia lakukan itu
maka akan mudah melakukan dosa, merasa tenang dengannya, dan akan
kesulitan menghindarkan diri dari dosa. Kalau ia sadari tentu akan
tahu bahwa menjaga (diri dari dosa) itu lebih gampang daripada
menghindari dan meninggalkan sesuatu yang menjadi kebiasaan.
Pokok dari muhasabah adalah: ia memuhasabah dirinya. Terlebih dahulu
pada amalan wajib, kalau ia ingat ada kekurangan pada dirinya maka
segera menutupinya, mungkin dengan meng-qadha atau memperbaikinya.
Lalu ia memuhasabah pada amalan-amalan yang terlarang. Kalau ia tahu
bahwa ia (telah) melakukan sebuah perbuatan terlarang, segera ia susul
dengan taubat, istighfar, dan melakukan amalan yang menghapusnya. Lalu
memuhasabah dirinya pada kelalaiannya, kalau ternyata ia telah lalai
dari tujuan penciptaan dirinya, segera ia susul dengan dzikrullah dan
menghadapkan dirinya kepada Allah. Lalu ia muhasabah pada tutur
katanya, pada amalan yang kakinya melangkah ke suatu tempat, atau pada
apa yang dilakukan oleh kedua tangannya, dan pada perkara yang
didengar oleh kedua telinganya; apa yang engkau niatkan dengan ini?
Demi siapa engkau melakukannya? Bagaimana engkau melakukannya?
Hendaknya ia pun tahu bahwa pasti akan dihamparkan dua catatan untuk
setiap gerakan dan kata. Yaitu untuk siapa kamu melakukannya dan
bagaimana kamu melakukannya? Yang pertama adalah pertanyaan tentang
keikhlasan dan yang kedua adalah pertanyaan tentang mutaba’ah. Allah
berfirman:
“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa
yang telah mereka kerjakan dahulu.” (Al-Hijr: 92-93)
“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus
rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula)
rasul-rasul (Kami). Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka
(apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan
mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (Al-A’raf:
6-7)
“Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran
mereka dan Dia menyediakan bagi orang-orang kafir siksa yang pedih.”
(Al-Ahzab: 8)
Jika orang-orang yang jujur ditanya dan dihitung amalnya, maka
bagaimana dengan orang-orang yang berdusta?
Qatadah mengatakan: “Dua kalimat, yang akan ditanya dengannya
orang-orang terdahulu maupun yang kemudian. Apa yang kalian ibadahi?
Dengan apa kamu sambut para rasul? Yakni ditanya tentang sesembahannya
dan tentang ibadahnya.”
Allah berfirman:
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan
(yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (At-Takatsur: 8)
Muhammad ibnu Jarir t mengatakan: Allah mengatakan: “Kemudian pasti
Allah akan bertanya kepada kalian tentang nikmat yang kalian
mendapatkannya di dunia, apa yang kalian lakukan dengannya? Dari jalan
mana kalian sampai kepadanya? Dengan apa kalian mendapatkannya? Apa
yang kalian perbuat padanya?”
Qatadah t mengatakan: Allah I bertanya kepada setiap hamba tentang apa
yang Allah berikan berupa nikmat-Nya dan hak-Nya.
Kenikmatan yang ditanya itu ada dua macam:
Pertama, nikmat yang diambil dengan cara yang halal dan dibelanjakan
pada haknya, maka akan ditanya bagaimana syukurnya.
Kedua, nikmat yang diambil tidak dengan cara yang halal dan
dibelanjakan bukan pada haknya maka akan ditanya asalnya dan kemana
dibelanjakan.
Maka jika seorang hamba akan ditanya dan dihitung segala amalnya
sampai pada pendengarannya, penglihatannya dan qalbunya sebagaimana
firman Allah :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra: 36)
Maka sangatlah pantas ia bermuhasabah atas dirinya sebelum ditanya
dalam hisab/ perhitungan amal.
Yang menunjukkan wajibnya bermuhasabah pada jiwa adalah firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr: 18)
Allah mengatakan: Seseorang dari kalian hendaknya melihat
amalan-amalan yang ia lakukan untuk hari kiamat, apakah amal shalih
yang menyelamatkannya ataukah amal jelek yang membinasakannya?
Qatadah mengatakan: Masih saja Allah mendekatkan hari kiamat
sehingga menjadikannya seolah esok hari.
Maksud dari pembahasan ini adalah bahwa kebaikan qalbu adalah dengan
muhasabah jiwa, dan rusaknya adalah dengan melalaikannya dan
membiarkannya.
(Diterjemahkan dari Ighatsatul Lahafan, hal. 90-93 dengan sedikit
ringkasan oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)
Muhasabah (introspeksi) pada jiwa ada dua macam: sebelum beramal dan
setelah beramal.
Muhasabah sebelum beramal yaitu hendaknya seseorang menahan diri dari
keinginan dan tekadnya untuk beramal, tidak terburu-buru berbuat
hingga jelas baginya bahwa jika ia mengamalkannya akan lebih baik
daripada meninggalkannya.
Al-Hasan t mengatakan: “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang
berhenti (untuk muhasabah) saat bertekad (untuk berbuat sesuatu). Jika
(amalnya) karena Allah, maka ia terus melaksanakannya dan jika karena
selain-Nya ia mengurungkannya.”
Sebagian mereka (ulama) menjabarkan ucapan beliau seraya mengatakan:
“Jika jiwa tergerak untuk mengerjakan suatu amalan dan seorang hamba
bertekad melakukannya, maka ia (mestinya) berhenti sejenak dan
melihat, apakah amalan itu dalam kemampuannya atau tidak? Jika tidak
dalam kemampuannya maka tidak dilakukan, tapi kalau mampu maka ia
berhenti lagi untuk melihat apakah melakukannya lebih baik daripada
meninggalkannya atau (bahkan) meninggalkannya lebih baik?
Kalau (keadaannya adalah) yang kedua maka ia tidak melakukannya. Kalau
yang pertama maka ia berhenti untuk ketiga kalinya dan melihat: apakah
pendorongnya adalah keinginan mendapatkan wajah Allah I dan pahalanya
atau sekedar kedudukan, pujian dan harta dari makhluk? Kalau yang
kedua maka ia tidak melakukannya walaupun akan menyampaikan pada
keinginannya, agar supaya jiwa tidak terbiasa berbuat syirik dan tidak
terasa ringan untuk beramal demi selain Allah . Karena seukuran
ringannya dalam beramal untuk selain Allah , seukuran itu pula
beratnya dalam beramal untuk Allah , hingga hal itu menjadi sesuatu
yang paling berat buatnya.
Kalau ternyata pendorong amalnya adalah karena Allah, maka ia
berhenti lagi dan melihat: apakah ia akan dibantu dan ia dapati
orang-orang yang membantunya –jika amalan itu memang membutuhkan
bantuan orang lain– atau tidak ia dapatkan? Kalau tidak didapati yang
membantu, hendaknya ia menahan dari amalan tersebut. Sebagaimana Nabi
menahan diri untuk berjihad ketika di Makkah hingga beliau
mendapatkan orang yang membantunya dan punya kekuatan. Kalau ia
mendapatkan orang yang membantu, maka lakukanlah, niscaya ia akan
ditolong. Dan keberhasilan tidak akan lepas kecuali dari orang yang
melewatkan satu perkara dari perkara-perkara tadi. Jika tidak, maka
dengan terkumpulnya semua perkara itu niscaya takkan lepas
keberhasilannya.”
Demikian empat keadaan yang seseorang butuh untuk memuhasabah jiwanya
sebelum beramal. Tidak semua yang ingin dilakukan oleh seorang hamba
itu mampu dilakukan, dan tidak setiap yang mampu dilakukan itu berarti
melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya. Dan tidak setiap
yang demikian itu ia lakukan karena Allah . Tidak pula setiap yang
dilakukan karena Allah , ia akan mendapatkan bantuan. Maka jika ia
bermuhasabah pada dirinya, akan jelas baginya apa yang dilakukan dan
apa yang akan ditinggalkan.
Berikutnya adalah muhasabah setelah beramal, terbagi dalam tiga macam:
Pertama:
muhasabah pada amal ketaatan yang ia tidak memenuhi hak Allah
padanya, di mana ia tidak melakukannya sebagaimana semestinya.
Hak Allah pada sebuah amal ketaatan ada enam: ikhlas dalam beramal,
niat baik kepada Allah, mengikuti Rasulullah , berbuat baik padanya,
mengakui nikmat Allah I padanya, menyaksikan adanya kekurangan pada
dirinya dalam beramal. Setelah itu semua maka ia memuhasabah dirinya,
apakah ia memenuhi hak-hak itu dan apakah ia melakukannya ketika
melakukan ketaatan itu?
Kedua:
muhasabah jiwa dalam setiap amalan yang lebih baik ditinggalkan
daripada dikerjakan.
Ketiga:
muhasabah jiwa dalam perkara yang mubah atau yang biasa.
Mengapa ia melakukannya? Apakah ia niatkan karena Allah dan negeri
akhirat, sehingga ia beruntung? Atau ia inginkan dengannya dunia dan
balasannya yang cepat sehingga ia kehilangan keberuntungan itu?
Orang yang membiarkan amalnya, tidak bermuhasabah, berlarut-larut
serta memudah-mudahkan perkaranya, sungguh ini akan menyampaikan
dirinya kepada kebinasaan. Inilah kondisi orang-orang yang tertipu. Ia
pejamkan dua matanya untuk melihat akibat amalannya, membiarkan
berlalu keadaannya dan hanya bersandar pada ampunan, sehingga ia tidak
bermuhasabah dan tidak melihat akibat amalnya. Kalau ia lakukan itu
maka akan mudah melakukan dosa, merasa tenang dengannya, dan akan
kesulitan menghindarkan diri dari dosa. Kalau ia sadari tentu akan
tahu bahwa menjaga (diri dari dosa) itu lebih gampang daripada
menghindari dan meninggalkan sesuatu yang menjadi kebiasaan.
Pokok dari muhasabah adalah: ia memuhasabah dirinya. Terlebih dahulu
pada amalan wajib, kalau ia ingat ada kekurangan pada dirinya maka
segera menutupinya, mungkin dengan meng-qadha atau memperbaikinya.
Lalu ia memuhasabah pada amalan-amalan yang terlarang. Kalau ia tahu
bahwa ia (telah) melakukan sebuah perbuatan terlarang, segera ia susul
dengan taubat, istighfar, dan melakukan amalan yang menghapusnya. Lalu
memuhasabah dirinya pada kelalaiannya, kalau ternyata ia telah lalai
dari tujuan penciptaan dirinya, segera ia susul dengan dzikrullah dan
menghadapkan dirinya kepada Allah. Lalu ia muhasabah pada tutur
katanya, pada amalan yang kakinya melangkah ke suatu tempat, atau pada
apa yang dilakukan oleh kedua tangannya, dan pada perkara yang
didengar oleh kedua telinganya; apa yang engkau niatkan dengan ini?
Demi siapa engkau melakukannya? Bagaimana engkau melakukannya?
Hendaknya ia pun tahu bahwa pasti akan dihamparkan dua catatan untuk
setiap gerakan dan kata. Yaitu untuk siapa kamu melakukannya dan
bagaimana kamu melakukannya? Yang pertama adalah pertanyaan tentang
keikhlasan dan yang kedua adalah pertanyaan tentang mutaba’ah. Allah
berfirman:
“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa
yang telah mereka kerjakan dahulu.” (Al-Hijr: 92-93)
“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus
rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula)
rasul-rasul (Kami). Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka
(apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan
mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (Al-A’raf:
6-7)
“Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran
mereka dan Dia menyediakan bagi orang-orang kafir siksa yang pedih.”
(Al-Ahzab: 8)
Jika orang-orang yang jujur ditanya dan dihitung amalnya, maka
bagaimana dengan orang-orang yang berdusta?
Qatadah mengatakan: “Dua kalimat, yang akan ditanya dengannya
orang-orang terdahulu maupun yang kemudian. Apa yang kalian ibadahi?
Dengan apa kamu sambut para rasul? Yakni ditanya tentang sesembahannya
dan tentang ibadahnya.”
Allah berfirman:
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan
(yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (At-Takatsur: 8)
Muhammad ibnu Jarir t mengatakan: Allah mengatakan: “Kemudian pasti
Allah akan bertanya kepada kalian tentang nikmat yang kalian
mendapatkannya di dunia, apa yang kalian lakukan dengannya? Dari jalan
mana kalian sampai kepadanya? Dengan apa kalian mendapatkannya? Apa
yang kalian perbuat padanya?”
Qatadah t mengatakan: Allah I bertanya kepada setiap hamba tentang apa
yang Allah berikan berupa nikmat-Nya dan hak-Nya.
Kenikmatan yang ditanya itu ada dua macam:
Pertama, nikmat yang diambil dengan cara yang halal dan dibelanjakan
pada haknya, maka akan ditanya bagaimana syukurnya.
Kedua, nikmat yang diambil tidak dengan cara yang halal dan
dibelanjakan bukan pada haknya maka akan ditanya asalnya dan kemana
dibelanjakan.
Maka jika seorang hamba akan ditanya dan dihitung segala amalnya
sampai pada pendengarannya, penglihatannya dan qalbunya sebagaimana
firman Allah :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra: 36)
Maka sangatlah pantas ia bermuhasabah atas dirinya sebelum ditanya
dalam hisab/ perhitungan amal.
Yang menunjukkan wajibnya bermuhasabah pada jiwa adalah firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr: 18)
Allah mengatakan: Seseorang dari kalian hendaknya melihat
amalan-amalan yang ia lakukan untuk hari kiamat, apakah amal shalih
yang menyelamatkannya ataukah amal jelek yang membinasakannya?
Qatadah mengatakan: Masih saja Allah mendekatkan hari kiamat
sehingga menjadikannya seolah esok hari.
Maksud dari pembahasan ini adalah bahwa kebaikan qalbu adalah dengan
muhasabah jiwa, dan rusaknya adalah dengan melalaikannya dan
membiarkannya.
(Diterjemahkan dari Ighatsatul Lahafan, hal. 90-93 dengan sedikit
ringkasan oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)