Rabu, 12 Desember 2012

Muhasabah




(ditulis oleh: Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)

Muhasabah (introspeksi) pada jiwa ada dua macam: sebelum beramal dan

setelah beramal.

Muhasabah sebelum beramal yaitu hendaknya seseorang menahan diri dari

keinginan dan tekadnya untuk beramal, tidak terburu-buru berbuat

hingga jelas baginya bahwa jika ia mengamalkannya akan lebih baik

daripada meninggalkannya.

Al-Hasan t mengatakan: “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang

berhenti (untuk muhasabah) saat bertekad (untuk berbuat sesuatu). Jika

(amalnya) karena Allah, maka ia terus melaksanakannya dan jika karena

selain-Nya ia mengurungkannya.”

Sebagian mereka (ulama) menjabarkan ucapan beliau seraya mengatakan:

“Jika jiwa tergerak untuk mengerjakan suatu amalan dan seorang hamba

bertekad melakukannya, maka ia (mestinya) berhenti sejenak dan

melihat, apakah amalan itu dalam kemampuannya atau tidak? Jika tidak

dalam kemampuannya maka tidak dilakukan, tapi kalau mampu maka ia

berhenti lagi untuk melihat apakah melakukannya lebih baik daripada

meninggalkannya atau (bahkan) meninggalkannya lebih baik?

Kalau (keadaannya adalah) yang kedua maka ia tidak melakukannya. Kalau

yang pertama maka ia berhenti untuk ketiga kalinya dan melihat: apakah

pendorongnya adalah keinginan mendapatkan wajah Allah I dan pahalanya

atau sekedar kedudukan, pujian dan harta dari makhluk? Kalau yang

kedua maka ia tidak melakukannya walaupun akan menyampaikan pada

keinginannya, agar supaya jiwa tidak terbiasa berbuat syirik dan tidak

terasa ringan untuk beramal demi selain Allah . Karena seukuran

ringannya dalam beramal untuk selain Allah , seukuran itu pula

beratnya dalam beramal untuk Allah , hingga hal itu menjadi sesuatu

yang paling berat buatnya.

Kalau ternyata pendorong amalnya adalah karena Allah, maka ia

berhenti lagi dan melihat: apakah ia akan dibantu dan ia dapati

orang-orang yang membantunya –jika amalan itu memang membutuhkan

bantuan orang lain– atau tidak ia dapatkan? Kalau tidak didapati yang

membantu, hendaknya ia menahan dari amalan tersebut. Sebagaimana Nabi

 menahan diri untuk berjihad ketika di Makkah hingga beliau

mendapatkan orang yang membantunya dan punya kekuatan. Kalau ia

mendapatkan orang yang membantu, maka lakukanlah, niscaya ia akan

ditolong. Dan keberhasilan tidak akan lepas kecuali dari orang yang

melewatkan satu perkara dari perkara-perkara tadi. Jika tidak, maka

dengan terkumpulnya semua perkara itu niscaya takkan lepas

keberhasilannya.”

Demikian empat keadaan yang seseorang butuh untuk memuhasabah jiwanya

sebelum beramal. Tidak semua  yang ingin dilakukan oleh seorang hamba

itu mampu dilakukan, dan tidak setiap yang mampu dilakukan itu berarti

melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya. Dan tidak setiap

yang demikian itu ia lakukan karena Allah . Tidak pula setiap yang

dilakukan karena Allah , ia akan mendapatkan bantuan. Maka jika ia

bermuhasabah pada dirinya, akan jelas baginya apa yang dilakukan dan

apa yang akan ditinggalkan.

Berikutnya adalah muhasabah setelah beramal, terbagi dalam tiga macam:

Pertama:
 muhasabah pada amal ketaatan yang ia tidak memenuhi hak Allah

padanya, di mana ia tidak melakukannya sebagaimana semestinya.

Hak Allah  pada sebuah amal ketaatan ada enam: ikhlas dalam beramal,

niat baik kepada Allah, mengikuti Rasulullah , berbuat baik padanya,

mengakui nikmat Allah I padanya, menyaksikan adanya kekurangan pada

dirinya dalam beramal. Setelah itu semua maka ia memuhasabah dirinya,

apakah ia memenuhi hak-hak itu dan apakah ia melakukannya ketika

melakukan ketaatan itu?

Kedua:
 muhasabah jiwa dalam setiap amalan yang lebih baik ditinggalkan

daripada dikerjakan.

Ketiga:
 muhasabah jiwa dalam perkara yang mubah atau yang biasa.

Mengapa ia melakukannya? Apakah ia niatkan karena Allah dan negeri

akhirat, sehingga ia beruntung? Atau ia inginkan dengannya dunia dan

balasannya yang cepat sehingga ia kehilangan keberuntungan itu?

Orang yang membiarkan amalnya, tidak bermuhasabah, berlarut-larut

serta memudah-mudahkan perkaranya, sungguh ini akan menyampaikan

dirinya kepada kebinasaan. Inilah kondisi orang-orang yang tertipu. Ia

pejamkan dua matanya untuk melihat akibat amalannya, membiarkan

berlalu keadaannya dan hanya bersandar pada ampunan, sehingga ia tidak

bermuhasabah dan tidak melihat akibat amalnya. Kalau ia lakukan itu

maka akan mudah melakukan dosa, merasa tenang dengannya, dan akan

kesulitan menghindarkan diri dari dosa. Kalau ia sadari tentu akan

tahu bahwa menjaga (diri dari dosa) itu lebih gampang daripada

menghindari dan meninggalkan sesuatu yang menjadi kebiasaan.

Pokok dari muhasabah adalah: ia memuhasabah dirinya. Terlebih dahulu

pada amalan wajib, kalau ia ingat ada kekurangan pada dirinya maka

segera menutupinya, mungkin dengan meng-qadha atau memperbaikinya.

Lalu ia memuhasabah pada amalan-amalan yang terlarang. Kalau ia tahu

bahwa ia (telah) melakukan sebuah perbuatan terlarang, segera ia susul

dengan taubat, istighfar, dan melakukan amalan yang menghapusnya. Lalu

memuhasabah dirinya pada kelalaiannya, kalau ternyata ia telah lalai

dari tujuan penciptaan dirinya, segera ia susul dengan dzikrullah dan

menghadapkan dirinya kepada Allah. Lalu ia muhasabah pada tutur

katanya, pada amalan yang kakinya melangkah ke suatu tempat, atau pada

apa yang dilakukan oleh kedua tangannya, dan pada perkara yang

didengar oleh kedua telinganya; apa yang engkau niatkan dengan ini?

Demi siapa engkau melakukannya? Bagaimana engkau melakukannya?

Hendaknya ia pun tahu bahwa pasti akan dihamparkan dua catatan untuk

setiap gerakan dan kata. Yaitu untuk siapa kamu melakukannya dan

bagaimana kamu melakukannya? Yang pertama adalah pertanyaan tentang

keikhlasan dan yang kedua adalah pertanyaan tentang mutaba’ah. Allah

berfirman:

“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa

yang telah mereka kerjakan dahulu.” (Al-Hijr: 92-93)

“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus

rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula)

rasul-rasul (Kami). Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka

(apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan

mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (Al-A’raf:

6-7)

“Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran

mereka dan Dia menyediakan bagi orang-orang kafir siksa yang pedih.”

(Al-Ahzab: 8)

Jika orang-orang yang jujur ditanya dan dihitung amalnya, maka

bagaimana dengan orang-orang yang berdusta?

Qatadah  mengatakan: “Dua kalimat, yang akan ditanya dengannya

orang-orang terdahulu maupun yang kemudian. Apa yang kalian ibadahi?

Dengan apa kamu sambut para rasul? Yakni ditanya tentang sesembahannya

dan tentang ibadahnya.”

Allah berfirman:

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan

(yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (At-Takatsur: 8)

Muhammad ibnu Jarir t mengatakan: Allah mengatakan: “Kemudian pasti

Allah akan bertanya kepada kalian tentang nikmat yang kalian

mendapatkannya di dunia, apa yang kalian lakukan dengannya? Dari jalan

mana kalian sampai kepadanya? Dengan apa kalian mendapatkannya? Apa

yang kalian perbuat padanya?”

Qatadah t mengatakan: Allah I bertanya kepada setiap hamba tentang apa

yang Allah  berikan berupa nikmat-Nya dan hak-Nya.

Kenikmatan yang ditanya itu ada dua macam:

Pertama, nikmat yang diambil dengan cara yang halal dan dibelanjakan

pada haknya, maka akan ditanya bagaimana syukurnya.

Kedua, nikmat yang diambil tidak dengan cara yang halal dan

dibelanjakan bukan pada haknya maka akan ditanya asalnya dan kemana

dibelanjakan.

Maka jika seorang hamba akan ditanya dan dihitung segala amalnya

sampai pada pendengarannya, penglihatannya dan qalbunya sebagaimana

firman Allah :

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai

pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan

hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra: 36)

Maka sangatlah pantas ia bermuhasabah atas dirinya sebelum ditanya

dalam hisab/ perhitungan amal.

Yang menunjukkan wajibnya bermuhasabah pada jiwa adalah firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah

setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok

(akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha

Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr: 18)

Allah  mengatakan: Seseorang dari kalian hendaknya melihat

amalan-amalan yang ia lakukan untuk hari kiamat, apakah amal shalih

yang menyelamatkannya ataukah amal jelek yang membinasakannya?

Qatadah  mengatakan: Masih saja Allah mendekatkan hari kiamat

sehingga menjadikannya seolah esok hari.

Maksud dari pembahasan ini adalah bahwa kebaikan qalbu adalah dengan

muhasabah jiwa, dan rusaknya adalah dengan melalaikannya dan

membiarkannya.

(Diterjemahkan dari Ighatsatul Lahafan, hal. 90-93 dengan sedikit

ringkasan oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)
Baca Selanjutnya ..

Ibarat Mengukir di atas Batu



بسم الله الرحمن الرحيم

Penulis : Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran

Usia kanak-kanak adalah masa keemasan dalam kehidupan seseorang. Segala yang dipelajari dan dialami pada masa ini –dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala– akan membekas kelak di masa dewasa.

Tak heran bila di kalangan pendahulu kita yang shalih banyak kita dapati tokoh-tokoh besar yang kokoh ilmunya, bahkan dalam usia mereka yang masih relatif muda. Dari kalangan sahabat, ada ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Anas bin Malikradhiyallahu ‘anhum, dan banyak lagi. Kalangan setelah mereka, ada Sufyan Ats-Tsauri, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan Al-Imam An-Nawawi rahimahumullah.

Begitulah memang. Dari sejarah kehidupan mereka kita bisa melihat, mereka telah sibuk dengan ilmu dan adab semenjak usia kanak-kanak. Jadilah –dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala– apa yang mereka pelajari tertanam dalam diri dan memberikan pengaruh terhadap pribadi.

Demikian yang diungkapkan oleh ‘Alqamah rahimahullahu:

مَا حَفِظْتُ وَأَنَا شَابٌّ فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ فِي قِرْطَاسٍ أَوْ وَرَقَةٍ

“Segala sesuatu yang kuhafal ketika aku masih belia, maka sekarang seakan-akan aku melihatnya di atas kertas atau lembaran catatan.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/304)

Bahkan ayah ibu mereka berperan dalam mengarahkan dan membiasakan anak-anak untuk menyibukkan diri dengan ilmu agama sejak dini dan menghasung mereka untuk mempelajari adab.

Muhammad bin Sirin rahimahullahu mengatakan:

كَانُوا يَقُوْلُوْنَ: أَكْرِمْ وَلَدَكَ وَأَحْسِنْ أَدَبَهُ

“(Para pendahulu kita) mengatakan: ‘Muliakanlah anakmu dan perbaikilah adabnya!’.”

 (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/308)

Senada dengan ini, Ibnul Anbari rahimahullahu mengatakan pula:

مَنْ أَدَّبَ ابْنَهُ صَغِيْرًا قَرَّتْ عَيْنُهُ كَبِيْرًا

“Barangsiapa mengajari anaknya adab semasa kecil, maka akan menyejukkan pandangannya ketika si anak telah dewasa.”

 (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/306)

Dari kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu contohnya. Beliau selalu menyertakan putranya, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma di majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara orang-orang yang duduk di sana adalah orang-orang dewasa. Bahkan betapa inginnya ‘Umar agar putranya menjadi seorang yang terkemuka di antara para sahabat yang hadir di situ dari sisi ilmu. ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menceritakan:

كُنَّا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: أَخْبِرْنِي بِشَجَرَةٍ تُشْبِهُ أَوْ كَالرَّجُلِ الْمُسْلِمِ لاَ يَتَحَاتُّ وَرَقُهَا وَلاَ وَلاَ وَلاَ، تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ. قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ وَرَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ لاَ يَتَكَلَّمَانِ، فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ. فَلَمَّا لَمْ يَقُوْلُوْا شَيْئًا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: هِيَ النَّخْلَةُ. فَلَمَّا قُمْنَا قُلْتُ لِعُمَرَ: يَا أَبَتَاه، وَاللهِ لَقَدْ كَانَ وَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ. فَقَالَ: مَا مَنَعَكَ أَنْ تَكَلَّمَ؟ قَالَ: لَمْ أَرَكُمْ تَكَلَّمُوْنَ فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ أَوْ أَقُوْلَ شَيْئًا. قَالَ عُمَرَ: لَأَنْ تَكُوْنَ قُلْتَهَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كَذَا وَكَذَا.

“Dulu kami pernah duduk di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bertanya pada kami, ‘Beritahukan kepadaku tentang sebatang pohon yang menyerupai atau seperti seorang muslim, tidak pernah gugur daunnya, tidak demikian dan demikian, selalu berbuah sepanjang waktu.’ Waktu itu terbetik dalam benakku bahwa pohon itu adalah pohon kurma, tapi kulihat Abu Bakr dan ‘Umar tidak menjawab apa pun sehingga aku pun merasa segan untuk menjawabnya. Tatkala para sahabat tidak juga mengatakan apa pun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu pohon kurma.” Ketika kami bubar, kukatakan kepada (ayahku) ‘Umar, “Wahai Ayah, sebetulnya tadi terlintas di benakku bahwa itu pohon kurma.”“Lalu apa yang membuatmu tidak menjawab?” tanya ayahku. “Aku melihat anda semua tidak berbicara, hingga aku merasa segan pula untuk menjawab atau mengatakan sesuatu,” jawab Ibnu ‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Sungguh, kalau tadi engkau menjawab, itu lebih kusukai daripada aku memiliki ini dan itu!” (HR. Al-Bukhari no. 4698)

Lihat pula Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha yang menghasung putranya, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu untuk selalu melayani RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam di usia kanak-kanaknya. Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha mengantarkan anaknya memperoleh faedah besar berupa ilmu dan pendidikan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah ketika aku berumur delapan tahun. Maka ibuku pun menggandengku dan membawaku menghadap beliau. Ibuku mengatakan pada beliau, “Wahai Rasulullah, tak seorang pun yang tersisa dari kalangan orang-orang Anshar, baik laki-laki maupun perempuan, kecuali telah memberikan sesuatu padamu. Sementara aku tidak mampu memberikan apa-apa kepadamu, kecuali putraku ini. Ambillah agar dia bisa membantu melayani keperluanmu.” Maka aku pun melayani beliau selama sepuluh tahun. Tak pernah beliau memukulku, tak pernah mencelaku maupun bermuka masam kepadaku.”

 (Siyar A’lamin Nubala’, 3/398)

Begitu pula ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sepupu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baru belasan tahun umurnya ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sementara sebelum itu dia banyak mengambil faedah ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamserta mendapatkan doa beliau. ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengungkapkan, bagaimana inginnya dia mendapatkan ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

رَقَدْتُ فِي بَيْتِ مَيْمُوْنَةَ لَيْلَةَ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَهَا لِأَنْظُرَ كَيْفَ صَلاَةَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِاللَّيْلِ

“Aku pernah tidur di rumah Maimunah1 pada malam ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam di sana untuk melihat bagaimana shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu malam.”

 (HR. Al-Bukhari no. 698 dan Muslim no. 763)

Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, semangat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma untuk mencari ilmu tidaklah surut. Didatanginya para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada pada saat itu untuk mendengarkan hadits dari mereka. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan tentang hal ini:

“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan waktu itu aku masih belia, aku berkata kepada salah seorang pemuda dari kalangan Anshar, ‘Wahai Fulan, mari kita bertanya pada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan belajar dari mereka, mumpung mereka sekarang masih banyak!’ Dia menjawab, ‘Mengherankan sekali kau ini, wahai Ibnu ‘Abbas! Apa kau anggap orang-orang butuh kepadamu sementara di dunia ini ada tokoh-tokoh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang kaulihat?’ Aku pun meninggalkannya. Aku pun mulai bertanya dan menemui para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika, aku mendatangi seorang sahabat untuk bertanya tentang suatu hadits yang kudengar bahwa dia mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata dia sedang tidur siang. Aku pun rebahan berbantalkan selendangku di depan pintunya, dalam keadaan angin menerbangkan debu ke wajahku. Begitu keadaanku sampai dia keluar. ‘Wahai putra paman Rasulullah, kenapa engkau ini?’ tanyanya ketika dia keluar. ‘Aku ingin mendapatkan hadits yang kudengar engkau menyampaikan hadits itu dari RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku ingin mendengar hadits itu darimu,’ jawabku. ‘Mengapa tidak kau utus saja seseorang kepadaku agar nantinya aku yang mendatangimu?’ katanya. ‘Aku lebih berhak untuk datang kepadamu,’ jawabku. Setelah itu, ketika para sahabat telah banyak yang meninggal, orang tadi (dari kalangan Anshar tersebut, red.) melihatku dalam keadaan orang-orang membutuhkanku. Dia pun berkata padaku, ‘Engkau memang lebih berakal daripadaku’.”

 (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/310)

Dari kalangan setelah tabi’in, kita kenal Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu. Salah satu hal yang mendorong Sufyan Ats-Tsauri sibuk menuntut ilmu sejak usia dini adalah hasungan, dorongan, dan arahan ibunya agar Sufyan mengambil faedah dari para ulama, baik berupa ilmu maupun faedah yang didapatkan dengan duduk bersama mereka, hingga ilmu yang diperolehnya akan memiliki pengaruh terhadap akhlak, adab, dan muamalahnya terhadap orang lain.

Ketika menyuruh putranya untuk hadir di halaqah-halaqah ilmu maupun majelis-majelis para ulama, ibunda Sufyan Ats-Tsauri berpesan, “Wahai anakku, ini ada uang sepuluh dirham. Ambillah dan pelajarilah sepuluh hadits! Apabila kaudapati hadits itu dapat mengubah cara dudukmu, perilakumu, dan ucapanmu terhadap orang lain, ambillah. Aku akan membantumu dengan alat tenunku ini! Tapi jika tidak, maka tinggalkan, karena aku takut nanti hanya akan menjadi musibah bagimu di hari kiamat!” (Waratsatul Anbiya’, hal.36-37)

Begitu pula ibu Al-Imam Malik rahimahullahu, dia memerhatikan keadaan putranya saat hendak pergi belajar. Al-Imam Malik mengisahkan:

“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ ‘Kemarilah!’ kata ibuku, ‘Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah(suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah2! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’

 (Waratsatul Anbiya’, hal. 39)

Biarpun dalam keadaan kekurangan, mestinya keadaan itu tidak menyurutkan keinginan orangtua untuk memberikan yang terbaik bagi sang anak. Lihat bagaimana ibu Al-Imam Asy-Syafi’i berusaha agar putranya mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang baik.

Diceritakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Aku adalah seorang yatim yang diasuh sendiri oleh ibuku. Suatu ketika, ibuku menyerahkanku kekuttab3, namun dia tidak memiliki sesuatu pun yang bisa dia berikan kepada pengajarku. Waktu itu, pengajarku membolehkan aku menempati tempatnya tatkala dia berdiri. Ketika aku telah mengkhatamkan Al-Qur’an, aku mulai masuk masjid. Di sana aku duduk di hadapan para ulama. Bila aku mendengar suatu permasalahan atau hadits yang disampaikan, maka aku pun menghafalnya. Aku tak bisa menulisnya, karena ibuku tak memiliki harta yang bisa dia berikan kepadaku untuk kubelikan kertas. Aku pun biasa mencari tulang-belulang, tembikar, tulang punuk unta, atau pelepah pohon kurma, lalu kutulis hadits di situ. Bila telah penuh, kusimpan dalam tempayan (guci) yang ada di rumah kami. Karena banyaknya tempayan terkumpul, ibuku berkata, ‘Tempayan-tempayan ini membuat sempit rumah kita.’ Maka kuambil tempayan-tempayan itu dan kuhafalkan apa yang tertulis di dalamnya, lalu aku membuangnya. Sampai kemudian Allah memberiku kemudahan untuk berangkat menuntut ilmu ke negeri Yaman.”

 (Waratsatul Anbiya’, hal. 36)

Namun betapa mirisnya hati kita bila melihat anak-anak kaum muslimin sekarang ini. Dalam usia yang sama dengan para tokoh ini tadi, mereka tidak mempelajari ilmu agama ataupun memperbaiki adabnya. Akankah kita biarkan ini terus berlangsung?

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Catatan kaki:

1 Maimunah, istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah bibi Ibnu ‘Abbas, karena Maimunah adalah saudari Ummul Fadhl, ibu Ibnu ‘Abbas.

2 Al-Imam Rabi’ah rahimahullahu adalah guru Al-Imam Malik rahimahullahu.

3 Kuttab adalah tempat anak-anak kecil belajar baca-tulis Al-Qur’an, semacam TPA/Q di Indonesia.

(Sumber: Asy Syariah No. 45/IV/1429 H/2008, halaman 76 s.d. 78, judul: Ibarat Mengukir di atas Batu, penulis: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran, katagori: Permata Hati)

           
Baca Selanjutnya ..