Kamis, 16 Agustus 2012

Renungan: Apa yang Kamu Pinta?

Andai Anda memiliki satu kesempatan berdoa.

Hanya satu permohonan yang benar-benar akan dikabulkan.

Hanya satu permintaan yang akan didengar.

Hanya satu hal yang akan terjadi dengan satu doa yang Anda panjatkan.

Kira-kira apakah yang akan Anda pinta… ?

 Cita-cita yang belum tercapai…?

 Angan-angan yang masih menjadi impian…?

 Yang tentunya setiap orang berbeda-beda.

Ada yang menginginkan rumah mewah lengkap dengan segala isinya.

Istri atau suami yang menawan, bagi yang belum memiliki pasangan.

Mobil termahal yang pernah ada di muka bumi ini.

Usaha yang menjajikan.

Dan lain sebagainya, semua sesuai dengan kondisi  masing-masing.

Namun, kalau direnungkan ternyata permohonan hamba itu sepadan dengan kualitas ilmu dan wawasan yang dimilikinya. Mungkin permohonan seorang tukang sampah tidaklah sama dengan doa seorang bupati. Doa tukang becak mungkin tidak setinggi permintaan seorang boss di sebuah perusahaan. Doa anak kecil tidaklah sama dengan doa orang dewasa.

Simaklah kisah seorang pria di masa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang mendapatkan sebuah kesempatan emas untuk memohon, apakah yang dia mohon?

Pria itu adalah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam yang bernama Rabi’ah bin Ka’ab al Aslami radiyallahu ‘anhu, dia tidak memiliki rumah, karena ia biasa tidur bersama Ashabussuffah di tempat yang disediakan di Masjid Nabawi, namun dia senantiasa mengisi waktunya untuk berkhidmat kepada Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.

Bacalah kisah selengkapnya dari sang pelaku sejarah sendiri, Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan bahwa Rabi’ah bin Ka’ab al Aslami radhiyallahu ‘anhu berkata, “Dahulu aku biasa melayani Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, aku menyelesaikan dan memenuhi keperluannya sepanjang siang, sampai beliau melaksanakan shalat Isya’, kemudian aku duduk di sisi pintunya ketika beliau masuk ke dalam rumahnya, aku berkata kepada diriku, mungkin Rasulullah memiliki keperluan (sehingga aku sudah siap melayaninya), aku terus mendengar beliau mengatakan, “Subhanallah Subhanallah Wabihamdihi”, sehingga aku lelah kemudian aku pulang atau aku dikalahkan oleh mataku sehingga aku tertidur di sana.

Pada suatu hari beliau berkata kepadaku karena melihat semangat dan kesungguhanku dalam membantu dan melayani beliau,

 ”Mintalah kepadaku wahai Rabi’ah! Niscaya aku akan memberimu”.

Mendengar tawaran itu aku berkata kepada beliau, “Aku akan berpikir dahulu wahai Rasulullah! Nanti aku akan memberitahukannya kepadamu”.

Maka akupun berpikir dalam diriku, aku mengetahui bahwa dunia itu fana dan akan sirna, dan sesungguhnya padanya aku telah memiliki rezeki yang sudah ditentukan yang akan mencukupiku dan mendatangiku”.

Setelah merenung dan memikirkannya, akhirnya Rabi’ah mencapai suatu keputusan, dan bergumam, “Kalau begitu aku akan meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam untuk akhiratku, sesungguhnya beliau memiliki kedudukan yang mulia di sisi Allah”.

Maka akupun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, dan tatkala berjumpa dengan beliau, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam  berkata kepadaku, “Apakah yang telah kamu buat, wahai Rabi’ah?

Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, aku meminta kepadamu agar engkau memberi syafaat kepadaku di sisi Rabb-mu agar Dia membebaskanku dari api neraka”.

Dalam riwayat Imam Muslim, Rabi’ah berkata, “Aku memohon agar dapat menemanimu di Surga”.(Subhanallah…..!)

Mendengar permohonanku itu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya, “Siapakah kiranya yang telah menyuruhmu untuk meminta hal ini?”.

Rabi’ah menjawab, “Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak ada seorangpun yang menyuruhku, namun tatkala engkau berkata, ‘Mintalah kepadaku niscaya aku akan memberimu’, sedangkan engkau memiliki kedudukan yang mulia di sisi Allah, maka akupun berpikir dalam diriku, aku mengetahui bahwa dunia ini fana dan akan sirna, dan sesungguhnya di dunia aku telah memiliki rezeki yang sudah ditentukan yang akan mencukupiku dan mendatangiku, akupun berkata (dalam diriku), ‘Kalau begitu aku akan meminta kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam untuk akhiratku.’”

Mendengarkan penjelasanku beliau berdiam sejenak, kemudian berkata kepadaku,

إِنِّي فَاعِلٌ، فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ

“Aku akan memenuhi permintaanmu, maka bantulah aku atas dirimu dengan engkau banyak-banyak bersujud (banyak-banyak melaksanakan shalat) “.(HR Ahmad)

Subhanallah, itulah yang dipinta Rabi’ah untuk satu kesempatan emas yang tidak terulang:  Diselamatkan dari api neraka agar dapat menikmati indahnya surga yang seluas langit dan bumi.

Menemani sang kekasih di surga Firdaus.

Bagaimanakah sikap kita andai tawaran itu disodorkan kepada kita?

Penulis: Ustadz Syafiq Riza Basalamah, M.A.

Artikel www.salafiyunpad.wordpress.con
Baca Selanjutnya ..

Rabu, 15 Agustus 2012

Inilah Jalanku


Mereka bilang kerudungku seperti nenek-nenek
padahal rambut sasak mereka seperti daun kering melambai.
Mereka bilang jilbabku ketinggalan zaman
padahal tank-top mereka seperti koteka zaman batu.

Mereka bilang ucapanku seperti orang yang ceramah
padahal rumpian mereka tak lebih indah dari dengungan segerombol lebah.
Mereka bilang cara berfikirku ”ketuaan”
padahal umur kepala dua mereka tidak menjadikannya lebih dewasa dari seorang anak kecil berumur 5 tahun.

Mereka bilang tingkah polahku tidak enerjik,
padahal laku mereka lebih menyerupai banteng seruduk sana-seruduk sini.
Mereka bilang dandananku pucat,
padahal penampilan mereka lebih mirip dengan ondel-ondel
Mereka bilang aku nggak gaul,
padahal untuk mengenal konspirasi saja mereka geleng-geleng.

Mereka bilang:
aku sok suci
aku tidak menikmati hidup
aku nggak ngalir
aku fanatik sok lebay
dan sok bau surga.

Ku jawab:
Ya, aku berusaha untuk terus mensucikan diri.
Karena najis tidak pernah mendapatkan tempat dimanapun berada,
meskipun letaknya di atas tahta emas.

Ya, aku tidak menikmati hidup ini. Karena hidup yang kudambakan bukan hidup yang seperti ini yang lebih buruk dari hidupnya binatang ternak

Ya, aku nggak ngalir. Aku adalah ikan yang akan terus bergerak, tidak terseret air yang mengalir sederas apapun alirannya. Karena aku tidak ingin jatuh ke dalam pembuangan.

Ya, aku fanatik. Karena fanatik dalam kebenaran yang sesuai fitrah adalah menyenangkan dibanding fanatik dalam kesalahan yang fatrah (kufur)

Ya, aku memang sok lebay. Karena aku adalah manusia yang lemah yang terserang makhluk kecil macam virus saja tubuhku sudah ambruk, manusia yang bodoh yang tidak mengetahui nasib hidupku satu detik setelah ini, manusia yang serba kurang dan punya batas waktu yang ketika waktu itu habis aku tidak bisa mengulurnya ataupun mempercepatnya

Ya, aku ingin mencium bau surga yang dijanjikan Tuhanku yang baunya dapat tercium dari jarak ratusan tahun cahaya. Betapa meruginya orang yang tidak bisa mencium bau surga, karena itu menandakan betapa jauhnya posisinya dari surga...

Kullu maa huwa aatin qoribun
Segala sesuatu yang pasti datang itu dekat...

Manusia dibekali Islam dan Muhammad sebagai pembawa huda dan haq
Juga, manusia juga dibekali akal oleh Tuhannya
Namun, manusia diberi kebebasan memilih untuk hidupnya
Dan, there is only one choice

Untuk itulah aku memilih jalanku
Memilih jalan hidupku
Hidup yang aku dambakan
Mendamba apa yang telah dijanjikanNya
Janji yang tak akan pernah diingkari

Whatever... what they said

“Jika kamu menuruti kebanyakan manusia yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (Qs. Al-An’am 116).

"Allah tidak akan mengingkari janji-janjiNya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (Qs. Ar-Rum 6).

Sumber :
[Azka Al-Faruq/azka_faruqi@yahoo.com]
Baca Selanjutnya ..

Keutamaan Susu


A. MENCAMPUR SUSU DENGAN AIR

1. Dari Anas  radhiyallahu'anhu, dia berkata :

"Rasululloh Shalallohu'alaihi Wassalam dihidangkan susu yang sudah dicampur dengan air sumur; di sebelah kanan beliau orang Arab badui sementara di sebelah kiri beliau Abu Bakar ash-Shiddiq,. Kemudian beliau pun meminumnya, lalu memberikannya kepada orang Arab badui yang ada di sebelah kanannya seraya bersabda :"Mulailah dari sebelah kanan terlebih dahulu." [1]

2. Dari Jabir bin 'Abdullah radhiyallahu'anhu, dia berkata :
"Nabi Shalallohu'alaihi Wassalam bersama seorang shahabatnya (Abu Bakar) bertamu di salah satu rumah kaum Anshar. Kemudian beliau berkata kepada orang Anshar tersebut : "Apabila kalian mempunyai air yang diembunlkan dalam kendi semalam, maka tuangkanlah ke dalam bejana untuk kami. Jika tidak, maka kami akan meminum langsung." Jabir meneruskan : " Orang Anshar itu berkata  : " Wahai Rasululloh, aku mempunyai air yang diembunkan, karena itu bergegaslah ke kemah, tempat air itu berada." Jabir melanjutkan lagi : " beliau pun bergegas menuju kemah bersama Abu Bakar dan orang Anshar tersebut, lalu air itu dihidangkan dan dicampur dengan air susu kambing." Jabir masih melanjutkan : " Rasululloh Shalallohu'alaihi Wassalam dan Abu Bakar pun lantas meminumnya."

Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari [2]. Dia sendiri memberikan judul bab (pembahasan) untuk kedua hadits tersebut, yaitu Bab "Syurbul Laban bil Maa' (Minum Susu Dicampur Dengan Air).

Al Hafizh menjelaskan : "Mereka mencampur susu dengan air, karena suhu susu yang baru diperah panas, sedangkan negeri itu, yakni Hijaz, adalah daerah yang panas; maka dari itu mereka mencampur susu dengan air dingin."[3]

3. Hadits panjang tentang hijrah, yang dikenal dengan hadits rihal (perjalanan), yakni yang diriwayatkan oleh Muslim[4]
Abu Bakar radhiyallahu'anhu berkata :
" Kemudian, aku menemui Nabi Shalallohu'alaihi Wassalam, namun aku tidak ingin membangunkan beliau yang sedang tidur, aku pun menunggu sampai beliau bangun. Ketika bangun, langsung aku sodorkan susu yang sudah dicampur dengan air hingga mendingin, lalu aku berkata : "Wahai Rasululloh, minumlah susu ini." Abu Bakar melanjutkan : "Beliau pun meminumnya sampai aku merasa puas." dan seterusnya.

Imam Ibnu Hubairah berkata ; "Hadits ini juga memberikan petunjuk agar seseorang menghilangkan rasa haus pada cuaca yang panas dengan minum susu yang dicampur dengan air dingin." sampai pada perkataannya :"dan ini menunjukkan bahwa Abu Bakar memberikan susu yang sudah didinginkan dengan air agar Rasululoh Shalallohu'alaihi Wassalam menikmatinya-karena dinginnya-bukan dimaksudkan sebagian dari (wujud) kemewahan, sebagaimana anggapan orang-orang jahil, melainkan hal itu sebagai bentuk ibadah."[5]

B.DO'A SETELAH MINUM SUSU
Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhu, dia berkata :
Rasululloh Shalallohu'alaihi Wassalam aku dan Khalid, bertamu ke rumah Maimunah; lalu dia menghidangkan kepada kami bejana berisi susu. Beliau pun meminumnya. Saat itu aku berada di sebelah kanan beliau, sedangkan Khalid berada di sebelah kiri. Beliau berkata kepadaku : "Sekarang giliranmu, namun jika kamu lebih mengutamakan Khalid, aku akan memberikan ini kepadanya." Aku berkata : " Aku tidak akan mengutamakan seorang pun untuk minum dari bejana bekas engkau." kemudian, beliau bersabda : "Siapa saja yang Alloh berikan makanan kepadanya, hendaklah ia berucap : Allohumma baa rik lanaa fiihi wa atho'imnaa khoyraan minhu ( Ya Alloh, berkahilah makanan kami dan karuniakanlah kepada kami makanan yang lebih baik (makanan Surga)." Dan siapa saja yang Alloh karuniakan susu hendaklah berucap : Allohumma baa rik lanaa fiihi wazidnaa minhu (Ya Alloh, berkahilah susu ini dan karuniakan kepada kami yang lebih banyak)." lalu beliau bersabda : " Tidak ada yang bisa menggantikan makan dan minum selain susu."

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud as-Sijistani, Abu Dawud ath-Thayalisi dan an-Nasai.[6]
Tentang hadits ini, at-Tirmidzi berkata : "Hadits ini hasan." dihasankan oleh Ibnu Hajar dan al-Albani dalam Silsilatush Shahiihahnya. Walloohul muwaffiq[7]

C. BERKUMUR-KUMUR SETELAH MINUM SUSU DAN SEJENISNYA
1. Al Bukhari [8] meriwayatkan hadits dalam bab 'Man Madhmadha minas Sawiiq wa lam Tayawadhdha' (Berkumur-kumur dengan Makanan dari tepung dan Tidak Berwudhu)."
Dari Suwaid bin an-Nu'man radhiyallohu'anhu :
"Dia ikut serta keluar bersama Rasululloh radhiyallohu'anhu pada tahun penaklukkan Khaibar. Hingga ketika mereka sampai di ash-Shahba', daerah terdekat dengan Khaibar, beliau turun dan mengerjakan shalat 'Ashar. Setelah itu, beliau meminta bekal, namun yang bisa dihidangkan hanya tepung. Beliau pun menyuruh agar (tepung itu) dicampur dengan air. Sesudah itu, beliau makan dan kami pun ikut makan. Seusai makan beliau bersiap-siap untuk mengerjakan shalat Maghrib; beliau berkumur-kumur dan kami pun ikut berkumur-kumur. Setelah itu, beliau mengerjakan shalat tanpa berwudhu terlebih dahulu."

Ibnu hajar menyebutkan dalam Fathul Baari : "Al-Bukhari menjadikan hadits ini sebagai dalil atas bolehnya melakukan dua kali shalat atau lebih dengan satu kali berwudhu' dan sunnahnya berkumur-kumur setelah makan."[9]

2. Al-Bukhari meriwayatkan [10] hadits dalam Bab "Hal Yumadhmidhu minal Laban (haruskah berkumur-kumur Setelah Minum Susu?)."
Dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhu, dia berkata bahwasanya Nabi Shalallohu'alaihi Wassalam meminum susu, kemudian berkumur-kumur, lalu bersabda :
"Sesungguhnya susu itu mengandung lemak."[11]

Ibnu hajar menyebutkan dalam Fathul Baari : "hadits itu menerangkan alasan Nabi Shalallohu'alaihi Wassalam berkumur-kumur setelah minum susu, sekaligus menunjukkan sunnahnya berkumur-kumur setelah makan/minum dari sesuatu yang mengandung minyak/lemak."[12]

Ibnu Muflih rahimahulloh menyebutkan dalam al-Aadaabusy Syar'iyyah : "Disunnahkan berkumur-kumur setelah minum susu." Dia juga berkata : "Sunnahnya berkumur-kumur dari makan/minum sesuatu yang mengandung minyak didasarkan pada alasan yang disampaikan Nabi Shalallohu'alaihi Wassalam."[13]

{Dinukil dari Kitab Menghidupkan Sunnah-Sunnah yang Terlupakan, Haifa binti Abdullah ar-Rasyid, Pustaka Imam Syafi'i}

----------------------------------------------------------------------------
Foot Note 

[1] HR Bukhari (5612-5619) dan Muslim (2029)

[2] HR Bukhari (5613)

[3] Fathul Baari (X/78)

[4] No 2009

[5] Al Ifshaah (I/61)

[6] Ahmad (1978/2569), at-Tirmidzi (3455), Ibnu Majah (3322), Abu Dawud (3730), Abu Dawud ath-Thayalisi (2723) dan an-Nasa-i dalam Amalul Yaum wal Lailah (hal 287)

[7] No 2320

[8] No 209

[9] I/374

[10] No 211

[11] HR Muslim (358)

[12] I/374

[13] III/211

Baca Selanjutnya ..

BACALAH ! MAKA KAU AKAN MENGERTI


Bacalah tentang dirimu, maka aku akan mengerti bahwa sesungguhnya dirimu adalah indah. Allah telah menciptakanmu dengan begitu teratur dan sempurna, maka dari itu berbanggalah menjadi muslimah dengan menjadi taat kepada Nya.
Dia tetap memeliharamu bahkan saat kau tidak mencintainya, Dia mengasihimu dan tetap memberikan kepadamu jatah rizki, bahkan disaat kau mengkhianatinya, dan Dia pun akhirnya memaafkan kesalahanmu saat kau bertaubat, walaupun selanjutnya kau mengulang kesalahan yang sama. Lagi dan lagi. Memang, menebus kecintaanNya adalah sangat mustahil dilakukan, maka satu- satunya cara untuk membalasnya adalah menjadi hamba yang baik untukNya. Walaupun itu memang sama sekali tidak menguntungkan atau merugikanNya, namun percayalah kesetiaan terhadap aturan dan JalanNya, akan selalu membawamu kepada kemuliaan seorang manusia.
Menjadi mulia...ternyata lebih mendamaikan bahkan dari pada sekedar mendapatkan gelar sebagai `kaya`. Lalu mengapa harus kau rendahkan dirimu sendiri dengan menyelisihi Allah sang Maha Penguasa, hanya demi memenuhi nafsu yang memenuhi rongga dadamu?. 

Bacalah kewajibanmu, maka kau akan mengerti bahwa seorang wanita sangatlah dimuliakan Allah lewat sebuah hal yang bernama melayani. Dengan melayani keluarga dan suami, maka kau telah melekatkan sebuah keajaiban pada dirinya sendiri sebagai seorang wanita.
Kau yang dengan segala keringanan mengesampingkan kesenanganmu sendiri demi kebahagiaan yang lain. Ah Simpanan terbaik apalagi di dunia ini yang lebih selain seorang istri yang begitu sangat sholihah dan mencintai keluarganya diatas kepentingan dan kelegaan hatinya sendiri. Suami adalah kunci munuju surga, kehidupan terabadi ditempat yang paling indah. Subhanallah, semoga Akhirnya kehidupan terbaik disana bisa di peroleh. 

Bacalah tentang kekuranganmu, maka kau akan mengerti cara tepat menjadikan dirimu hebat, tanpa harus menjadi dipaksakan untuk sempurna.Kesadaran tentang kekurangan itu akan menjadikan kau pribadi yang tidak sombong dihadapan Yang Maha segala apalagi dihadapan manusia.
Saat kau mengenal kekuranganmu, maka akan banyak kesempatan bagimu untuk melembutkan hati dan mengasah kasih sayangmu untuk selanjutnya kau sebarkan keindahan itu kepada seluruh dunia.  

Bacalah tentang masa lalumu, maka kau akan mengerti betapa Allah sangat Maha penyayang dan mengasihimu. Allah menuntunmu kepada jalan yang terbaik walaupun kadang kau khianati.
Kasih sayangNya tiada batas, walau sering kali kita membatasi diri denganNya lewat dosa- dosa yang kau perbuat. Maka dari itu jangan tunda sujudmu, mohonkanlah ampunan atas jalan salah yang telah kau ukir dalam kebanggan berbuat dosa.  

Bacalah setiap lembaran hidupmu, maka kau akan mengerti betapa Allah Subhanahu Wata'ala telah mengembankan kepadamu tugas yang berat dan indah, namun tidak melebihi kemampuanmu.
Kau adalah mampu, walaupun kau suka berputus asa dengan berkata tidak mampu. Kau adalah pemenang, walau sesekali terpuruk menjadi pecundang. Kau adalah Anugrah, maka jangan anggap dirimu sebagai sampah. Kau indah, bahkan terlalu indah untuk sekedar kau caci maki. Kau adalah hamba yang taat, walau sesekali kau salah jalan, namun lihatlah sang Maha Penolong masih tersenyum dalam keteledoran yang kau lakukan.
Dan yakinlah Dia akan selalu memaafkanmu, selama kau ikhlas meminta maaf. Lalu, atas alasan apa lagi kau harus menunda tobatmu, apakah kau perlu harus menyaksikan dahulu kemurkaaan Allah atasmu?

(Syahidah)

Baca Selanjutnya ..

Hidup Sehat Cara Rasullullah


“Anak Adam tidak memenuhkan suatu tempat yang lebih jelek dari perutnya. Cukuplah beberapa suap yang dapat memfungsikan tubuhnya. Kalau tidak ditemukan jalan lain, maka (ia dapat mengisi perutnya) dengan sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk pernafasan.” (HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)

Konon, selama hidupnya Rasulullah Shallalahu'alaihi Wassalam hanya sakit dua kali. Yaitu setelah menerima wahyu pertama, ketika itu beliau mengalami ketakutan yang sangat sehingga menimbulkan demam hebat. Yang satunya lagi menjelang beliau wafat. Saat itu beliau mengalami sakit yang sangat parah, hingga akhirnya meninggal. Ada pula yang menyebutkan bahwa Rasul mengalami sakit lebih dari dua kali.
Berapa pun jumlahnya, dua, tiga atau empat kali, memperjelas gambaran bahwa beliau memiliki fisik sehat dan daya tahan luar biasa. Padahal kondisi alam Jazirah Arabia waktu itu terbilang keras, tandus dan kurang bersahabat. Siapa pun yang mampu bertahan puluhan tahun dalam kondisi tersebut, plus berpuluh kali peperangan yang dijalaninya, pastilah memiliki daya tahan tubuh yang hebat.

Mengapa Rasulullah Shallalahu'alaihi Wassalam jarang sakit? Pertanyaan ini menarik untuk dikemukakan. Secara lahiriah, Rasulullah  jarang sakit karena mampu mencegah hal-hal yang berpotensi mendatangkan penyakit. Dengan kata lain, beliau sangat menekankan aspek pencegahan daripada pengobatan. Jika kita telaah Alquran dan Sunnah, maka kita akan menemukan sekian banyak petunjuk yang mengarah pada upaya pencegahan. Hal ini mengindikasikan betapa Rasulullah sangat peduli terhadap kesehatan. Dalam Shahih Bukhari saja tak kurang dari 80 hadis yang membicarakan masalah ini. Belum lagi yang tersebar luas dalam kitab Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Tirmidzi, Baihaqi, Ahmad, dsb.

Cara Rasulullah menjaga kesehatan

Ada beberapa kebiasaan positif yang membuat Rasulullah Shallalahu'alaihi Wassalam selalu tampil fit dan jarang sakit. Di antaranya:

Pertama, selektif terhadap makanan. Tidak ada makanan yang masuk ke mulut beliau, kecuali makanan tersebut memenuhi syarat halal dan thayyib (baik). Halal berkaitan dengan urusan akhirat, yaitu halal cara mendapatkannya dan halal barangnya. Sedangkan thayyib berkaitan dengan urusan duniawi, seperti baik tidaknya atau bergizi tidaknya makanan yang dikonsumsi. Salah satu makanan kegemaran Rasul adalah madu. Beliau biasa meminum madu yang dicampur air untuk membersihan air lir dan pencernaan. Rasul bersabda,” Hendaknya kalian menggunakan dua macam obat, yaitu madu dan Alquran(HR. Ibnu Majah dan Hakim).

Kedua, tidak makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Aturannya, kapasitas perut dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu sepertiga untuk makanan (zat padat), sepertiga untuk minuman (zat cair), dan sepertiga lagi untuk udara (gas). Disabdakan,”Anak Adam tidak memenuhkan suatu tempat yang lebih jelek dari perutnya. Cukuplah bagi mereka beberapa suap yang dapat memfungsikan tubuhnya. Kalau tidak ditemukan jalan lain, maka (ia dapat mengisi perutnya) dengan sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiganya lagi untuk pernafasan” (HR Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).

Ketiga, makan dengan tenang, tuma'ninah, tidak tergesa-gesa, dengan tempo sedang. Apa hikmahnya? Cara makan seperti ini akan menghindarkan tersedak, tergigit, kerja organ pencernaan pun jadi lebih ringan. Makanan pun bisa dikunyah dengan lebih baik, sehingga kerja organ pencernaan bisa berjalan sempurna. Makanan yang tidak dikunyah dengan baik akan sulit dicerna. Dalam jangka waktu lama bisa menimbulkan kanker di usus besar.

Keempat, cepat tidur dan cepat bangun. Beliau tidur di awal malam dan bangun pada pertengahan malam kedua. Biasanya, Rasulullah Shallalahu'alaihi Wassalam bangun dan bersiwak, lalu berwudhu dan shalat sampai waktu yang diizinkan Alloh. Beliau tidak pernah tidur melebihi kebutuhan, namun tidak pula menahan diri untuk tidur sekadar yang dibutuhkan. Penelitian Daniel F Kripke, ahli psikiatri dari Universitas California menarik untuk diungkapkan. Penelitian yang dilakukan di Jepang dan AS selama 6 tahun dengan responden berusia 30-120 tahun mengatakan bahwa orang yang biasa tidur 8 jam sehari memiliki resiko kematian yang lebih cepat. Sangat berlawanan dengan mereka yang biasa tidur 6-7 jam sehari. Nah, Rasulullah Shallalahu'alaihi Wassalam biasa tidur selepas Isya untuk kemudian bangun malam. Jadi beliau tidur tidak lebih dari 8 jam.
Cara tidurnya pun sarat makna. Ibnul Qayyim Al Jauziyyah dalam buku Metode Pengobatan Nabi mengungkapkan bahwa Rasul tidur dengan memiringkan tubuh ke arah kanan, sambil berzikir kepada Alloh hingga matanya terasa berat. Terkadang beliau memiringkan badannya ke sebelah kiri sebentar, untuk kemudian kembali ke sebelah kanan. Tidur seperti ini merupakan tidur paling efisien. Pada saat itu makanan bisa berada dalam posisi yang pas dengan lambung sehingga dapat mengendap secara proporsional. Lalu beralih ke sebelah kiri sebentar agar agar proses pencernaan makanan lebih cepat karena lambung mengarah ke lever, baru kemudian berbalik lagi ke sebelah kanan hingga akhir tidur agar makanan lebih cepat tersuplai dari lambung. Hikmah lainnya, tidur dengan miring ke kanan menyebabkan beliau lebih mudah bangun untuk shalat malam.

Kelima, istiqamah melakukan saum sunnat, di luar saum Ramadhan. Karena itu, kita mengenal beberpa saum sunnat yang beliau anjurkan, seperti Senin Kamis, ayyamul bith, saum Daud, saum enam hari di bulan Syawal, dsb. Saum adalah perisai terhadap berbagai macam penyakit jasmani maupun ruhani. Pengaruhnya dalam menjaga kesehatan, melebur berbagai berbagai ampas makanan, manahan diri dari makanan berbahaya sangat luar biasa. Saum menjadi obat penenang bagi stamina dan organ tubuh sehingga energinya tetap terjaga. Saum sangat ampuh untuk detoksifikasi (pembersihan racun) yang sifatnya total dan menyeluruh.
Selain lima cara hidup sehat ini, masih banyak kebiasaan Rasulullah  yang layak kita teladani. Dalam buku Jejak Sejarah Kedokteran Islam, Dr Jafar Khadem Yamani mengungkapkan lebih dari 25 pola hidup Rasul berkait masalah kesehatan, sebagian besar bersifat pencegahan. Di antaranya cara bersuci, cara memanjakan mata, keutamaan berkhitan, keutamaan senyum, dsb.

Yang tak kalah penting dari ikhtiar lahir, Rasulullah sangat mantap dalam ibadah ritualnya, khususnya dalam shalat. Beliau pun memiliki keterampilan paripurna dalam mengelola emosi, pikiran dan hati. Penelitian-penelitian terkini dalam bidang kesehatan membuktikan bahwa kemampuan dalam memenej hati, pikiran dan perasaan, serta ketersambungan yang intens dengan Dzat Yang Mahatinggi akan menentukan kualitas kesehatan seseorang, jasmani maupun ruhani.


Semoga Bermanfaat.
(Dikutip dr Arsip Siroh)
Baca Selanjutnya ..

Menerima Kebenaran dari Selain Ahlussunnah

Copas (copy-paste) artikel atau link (dari blog lain) dalam dunia bloging sudah merupakan hal yang lumrah dan merupakan salah satu cara para bloger untuk mengisi content blog mereka. Dan sudah diketahui bersama bahwa ketika sebuah blog menukil artikel atau link dari blog lain, maka itu sama sekali tidak menunjukkan kalau kedua blog tersebut mempunyai koneksi atau hubungan atau kerjasama yang lebih khusus. Dan ini insya Allah yang dipahami oleh para bloger dan para pembaca blog. Hal itu karena terkadang seorang bloger menukil artikel dari blog lain dikarenakan dia setuju dengan isi artikel tersebut dan dia tidak bisa menulis sendiri atau dia tidak mempunyai referensi yang lengkap sebagaimana artikel yang akan dia nukil tersebut. Karenanya kita tidak bisa memastikan dua blog atau lebih itu mempunyai hubungan ‘khusus’ hanya berdasarkan salah satunya menukil artikel atau link dari blog yang lainnya.
Ini jika artikel yang dinukil adalah dalam masalah keduniaan, insya Allah bisa dipahami. Hanya saja permasalahan itu muncul jika artikel yang dinukil itu berkenaan dengan agama, dimana sebagian orang yang tidak jelas lagi jahil serta merta menghukumi dua blog atau lebih itu mempunyai koneksi dan hubungan ‘khusus’ hanya karena salah satunya menukil artikel keagamaan dari yang lainnya. Padahal alasan bloger yang menukil dari blog lain biasanya juga sama seperti alasan penukilan artikel keduniaan di atas. Yakni: Karena bloger tersebut memandang isi artikel itu adalah kebenaran dan dia tidak mempunyai waktu untuk menulis seperti itu ataukah dia tidak mempunyai referensi yang dimiliki oleh artikel yang akan dinukil tersebut. Wallahul Musta’an. Dan tentunya, sudah menjadi etika dalam dunia bloging secara umum dan copas secara khusus, bahwa blog yang menukil haruslah menyertakan link asal artikel, sebagai bentuk amanat ilmiah darinya.
Demikian gambaran permasalahannya secara umum. Adapun secara khusus, masalahnya adalah: Ketika sebuah blog ahlussunnah menukil atau copas dari blog selain ahlussunnah, apakah langsung divonis jika kedua blog ini mempunyai koneksi dan hubungan ‘khusus’?
Dari sisi kebiasaan yang berkembang dan ‘kode etik’ dalam dunia bloging sebagaimana yang tersebut di atas, jawabannya saya rasa sudah jelas bahwa: Kita tidak bisa langsung memvonis hal itu hanya karena masalah copas artikel atau penukilan link, dengan alasan yang sudah dijelaskan di atas.
Adapun dari sisi hukum syar’i keagamaan, maka jawabannya sebenarnya juga sudah jelas, yakni boleh menukil ucapan selain ahlussunnah selama itu merupakan kebenaran dan itu tidak menunjukkan ahlussunnah tersebut mentazkiyah (merekomendasi) selain ahlussunnah tersebut. Jadi, sebenarnya hukum masalah ini sudah jelas. Akan tetapi ucapan dan tindakan dari sebagian orang yang tidak jelas yang dibangun di atas ketergesa-gesaan, kejahilan, dan kedengkian, membuat semuanya menjadi tidak jelas. Sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, “Ilmu itu hanya setitik, akan tetapi dibuat banyak oleh orang-orang yang jahil.”
Karenanya artikel ini sengaja kami buat untuk meluruskan kesalahpahaman dan kejahilan yang terjadi dalam masalah ini, juga sebagai jawaban pertanyaan dari beberapa pertanyaan yang masuk kepada kami mengenai masalah ini, dan sekaligus sebagai panduan bagi para bloger secara umum. Berikut penjabarannya:
Dalil-dalil akan wajibnya menerima kebenaran dan bahwa menerima kebenaran dari siapapun berada merupakan sifat orang-orang yang beriman.

Allah Ta’ala berfirman:
فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah: 213)
Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan ayat di atas, “Maka siapa saja yang Allah Subhanahu berikan hidayah kepadanya untuk mengambil kebenaran dimanapun kebenaran itu berada dan bersama siapapun kebenaran itu berada -walaupun kebenaran itu bersama dengan orang yang dia benci dan dia musuhi- dan untuk menolak kebatilan bersama siapapun kebatilan tersebut -walaupun kebatilan itu bersama dengan orang yang dia sayangi dan dia tolong-, maka orang seperti inilah yang tergolong ke dalam orang-orang yang diberi hidayah menuju kebenaran dalam setiap masalah yang diperselisihkan. Inilah orang yang paling berilmu, paling benar jalannya, dan paling kuat ucapannya.” (Ash-Shawa’iq Al-Mursalah: 2/516)
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوأَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah : 8 )
Dan di antara bentuk berbuat adil kepada musuh adalah menerima dan menyetujui kebenaran yang ada pada mereka. As-Si’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya menafsirkan ayat di atas, “Sebagaimana kaliam bersaksi menguatkan teman kalian maka kalian juga harus bersaksi melawan teman kalian (jika dia memang salah, pent.). Dan sebagaimana kalian bersaksi melawan musuh kalian maka kalian juga harus bersaksi mendukungnya (jika dia memang benar, pent.). Maka walaupun musuh itu adalah orang kafir atau penganut bid’ah maka tetap wajib berlaku adil kepadanya dan wajib menerima kebenaran yang mereka bawa. Kita terima kebenaran itu bukan karena dia yang mengucapkannya (akan tetapi karena ucapannya itu memang kebenaran, pent.). Dan kebenaran tidak boleh ditolak hanya karena dia (musuh) yang mengucapkannya, karena perbuatan seperti ini adalah kezhaliman terhadap kebenaran.”
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا لَنَا لاَ نُؤْمِنُ بِاللّهِ وَمَا جَاءنَا مِنَ الْحَقِّ وَنَطْمَعُ أَن يُدْخِلَنَا رَبُّنَا مَعَ الْقَوْمِ الصَّالِحِينَ
“Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh.” (QS. Al-Maidah: 84)
Allah Ta’ala berfirman:
وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُوْلَئِكَ هُمْ الْمُتَّقُونَ
“Dan orang yang membawa kebenaran dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zumar: 33)
Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiah rahimahullah berkata menjelaskan ayat di atas, “Maka wajib atas setiap manusia untuk membenarkan (baca: menerima) kebenaran yang diucapkan oleh orang lain, sebagaimana jika kebenaran itu diucapkan oleh dirinya sendiri. Dia tidak boleh mengimani makna ayat yang dia gunakan berdalil namun dia menolak makna ayat yang digunakan berdalil oleh lawannya. Dia tidak boleh menerima kebenaran hanya dari satu kelompok lalu dia menolak kebenaran dari kelompok lainnya.” (Dar`u At-Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql: 8/404)
Dari Qutailah radhiallahu anha -seorang wanita dari Juhainah-, bahwa seorang Yahudi datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata:
أَنَّ يَهُودِيًّا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّكُمْ تُنَدِّدُونَ وَإِنَّكُمْ تُشْرِكُونَ تَقُولُونَ مَا شَاءَ اللَّهُ وَشِئْتَ وَتَقُولُونَ وَالْكَعْبَةِ فَأَمَرَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادُوا أَنْ يَحْلِفُوا أَنْ يَقُولُوا وَرَبِّ الْكَعْبَةِ وَيَقُولُونَ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شِئْتَ
“Sesungguhnya kalian membuat tandingan (untuk Allah) dan sungguh kalian telah berbuat syirik. Kalian mengatakan, ‘Atas kehendak Allah dan kehendak kamu’. Dan kalian katakan, ‘Demi Ka’bah’.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para sahabat apabila hendak bersumpah untuk mengucapkan, ‘Demi Tuhan Pemilik Ka’bah’, dan mengucapkan, ‘Atas kehendak Allah, kemudian atas kehendak kamu’.” (HR. An-Nasai no. 3713)
Hadits ini jelas menunjukkan bagaimana Nabi shallallahu alaihi wasallam menerima kebenaran yang diucapkan oleh orang-orang Yahudi. Lalu beliau menetapkan hukum berdasarkan kebenaran yang beliau dengar dari Yahudi tersebut. Kebencian beliau kepada orang-orang Yahudi tidak menjadikan beliau menolak kebenaran yang mereka ucapkan.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia bercerita:
وَكَّلَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ فَأَتَانِي آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنْ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ لَأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَصَّ الْحَدِيثَ فَقَالَ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِيِّ لَنْ يَزَالَ مَعَكَ مِنْ اللَّهِ حَافِظٌ وَلَا يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ ذَاكَ شَيْطَانٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menugaskanku untuk menjaga harta zakat. Lalu pada suatu hari ada seseorang yang menyusup hendak mengambil makanan, maka aku pun menyergapnya seraya berkata, “Aku benar-benar akan menyerahkanmu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam..” lalu ia bercerita dan berkata, “Jika kamu hendak beranjak ke tempat tidur maka bacalah ayat kursi, niscaya Allah akan senantiasa menjagamu dan syetan tidak akan mendekatimu hingga pagi.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Ia telah berkata benar padamu, padahal ia adalah pendusta. Si penyusup tadi sebenarnya adalah setan.” (HR. Al-Bukhari no. 4624)
Hadits ini yang paling sering digunakan oleh para ulama untuk berdalil wajibnya menerima kebenaran dari siapapun walaupun dari pihak musuh. Sisi pendalilannya jelas, bagaimana Nabi shallallahu alaihi wasallam membenarkan dan menyetujui ucapan setan yang menganjurkan Abu Hurairah untuk membaca ayat kursi sebelum tidur.
Dan sebaliknya, di antara karakteristik orang-orang kafir adalah menolak kebenaran jika kebenaran tersebut tidak diucapkan oleh golongan mereka.
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah:
Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُواْ بِمَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ نُؤْمِنُ بِمَآ أُنزِلَ عَلَيْنَا وَيَكْفُرونَ بِمَا وَرَاءهُ وَهُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقاً لِّمَا مَعَهُمْ قُلْ فَلِمَ تَقْتُلُونَ أَنبِيَاء اللّهِ مِن قَبْلُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Berimanlah kepada Al Quran yang diturunkan Allah,” mereka berkata: “Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami”. Dan mereka kafir kepada Al Quran yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Quran itu adalah (Kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: “Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 91)
Allah Ta’ala berfirman:
فَقَدْ كَذَّبُواْ بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءهُمْ فَسَوْفَ يَأْتِيهِمْ أَنبَاء مَا كَانُواْ بِهِ يَسْتَهْزِؤُونَ
“Sesungguhnya mereka telah mendustakan yang haq (Al-Quran) tatkala sampai kepada mereka, maka kelak akan sampai kepada mereka (kenyataan dari) berita-berita yang selalu mereka perolok-olokkan.” (QS. Al-An’am: 5)
Allah Ta’ala berfirman:
وَكَذَّبَ بِهِ قَوْمُكَ وَهُوَ الْحَقُّ قُل لَّسْتُ عَلَيْكُم بِوَكِيلٍ
“Dan kaummu mendustakannya (azab) padahal azab itu benar adanya. Katakanlah: “Aku ini bukanlah orang yang diserahi mengurus urusanmu.” (QS. Al-An’am: 66)
Allah Ta’ala berfirman:
بَلْ كَذَّبُوا بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءهُمْ فَهُمْ فِي أَمْرٍ مَّرِيجٍ
“Sebenarnya, mereka telah mendustakan kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepada mereka, maka mereka berada dalam keadaan kacau balau.” (QS. Qaf: 5)
Dan Nabi shallallahu alaihi wasallam juga mengabarkan bahwa menolak kebenaran, di pihak manapun kebenaran itu berada merupakan tindakan kesombongan yang nyata. Di dalam sabdanya:
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan memandang remeh orang lain.” (HR. Muslim no. 131)
Menerima kebenaran dari siapapun merupakan fitrah manusia.
Allah Ta’ala berfirman:
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
“Dan kami tunjukkan kepadanya dua jalan.” (QS. Al-Balad: 10)
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Manusia dilahirkan secara fitrah untuk menerima kebenaran.”
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata dalam Syirkiyat wa ‘Aqa`id Shufiah (1/1), “Maka tidak ada seorangpun di antara kita kecuali Allah telah memberinya fitrah untuk menerima dan mencintai kebenaran.”
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Si’di rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Karena Allah Ta’ala telah menciptakan hamba-hambaNya dalam keadaan hanif (bertauhid) dan mereka difitrahkan untuk menerima dan lebih mendahulukan kebenaran.”
Karenanya orang yang menolak kebenaran hanya karena kebenaran itu diucapkan oleh selain ahlussunnah, maka sungguh dia telah melenceng dari fitrahnya yang lurus, wallahul musta’an.
Ucapan para ulama ahlussunnah dalam wajibnya menerima kebenaran dari selain ahlussunnah.
Muadz bin Jabal radhiallahu anhu berkata:
اِقْبَلُوا الْحَقَّ مِنْ كُلِّ مَنْ جَاءَ بِهِ، وَإِنْ كَانَ كَافِراً – أَوْ قَالَ فَاجِراً –
“Terimalah kebenaran dari siapa saja yang membawanya, walaupun dia adalah orang kafir -atau beliau berkata: Orang fasik-.” (Riwayat Al-Baihaqi)
Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, “Dan Allah memerintahkan kita untuk berlaku adil dan lurus. Karenanya, jika ada orang yahudi atau nashrani -apalagi hanya orang syiah rafidhah- yang mengucapkan kebenaran, maka kita tidak boleh meninggalkannya atau menolaknya mentah-mentah. Akan tetapi yang kita tolak hanyalah yang mengandung kebatilan, bukannya yang mengandung kebenaran.” (Minhaj As-Sunnah An-Nabawiah: 2/342)
Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata, “Terimalah kebenaran dari setiap orang yang mengucapkannya walaupun dia orang yang kamu benci. Dan tolaklah kebatilan dari siapa saja yang mengucapkannya walaupun dia orang yang kamu sayangi.” (Madarij As-Salikin: 3/522)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam hafizhahullah berkata dalam sebuah artikel yang berudul Qubul Al-Haq, “Kalian sudah mengetahui -semoga Allah menjaga kalian- bahwa dakwah ahlussunnah tegak di atas kebenaran: Mencari kebenaran, mempelajarinya, menerimanya, berdakwah kepadanya, bersabar menapakinya, dan membuang yang menentangnya.” Beliau juga berkata, “Maka terimalah kebenaran secara mutlak, baik kebenaran itu mendukungmu maupun kebenaran itu menentangmu.” [Artikel selengkapnya bisa dibaca di: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=237449]
Harus dibedakan antara menerima kebenaran dengan mencari kebenaran.
Maka harus dibedakan antara menerima kebenaran dengan mencari kebenaran, dan antara menerima ilmu yang benar dengan menuntut ilmu yang benar. Pembedaan ini dari sisi bahwa menerima kebenaran dan ilmu yang benar itu dari siapa saja -walaupun dari selain ahlussunnah- berdasarkan semua dalil yang telah berlalu. Sementara mencari kebenaran dan menuntut ilmu yang benar harus hanya kepada para ulama ahlussunnah, tidak kepada selain mereka.
Asy-Syaikh Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah pernah ditanya dengan nash pertanyaan:
Apakah ucapan berikut ini benar? Dan tolong ditambahkan penjelasan tentangnya, semoga Allah membalas anda dengan kebaikan, amin. Ucapan yang dimaksud adalah: Kebenaran diterima dari siapa saja yang mengucapkannya dan kebatilan ditolak dari siapa saja yang mengucapkannya. Karenanya jika seorang penganut bid’ah -bahkan walaupun itu setan- mengucapkan ucapan yang benar, maka kebenaran ini diterima dan disetujui darinya. Hal ini sebagai pengamalan dari firman Allah Ta’ala:
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Maidah: 8)
Akan tetapi tidak boleh mengambil ilmu dan mencari kebenaran dari penganut bid’ah tersebut, sebagaimana yang sudah menjadi manhaj as-salaf ash-shaleh. Akan tetapi kebenaran hanya dicari dari para ulama yang beramal dengan kebenaran tersebut, yaitu para ulama ahlussunnah, bukan selain mereka.
Maka beliau menjawab:
Kaidah ini benar insya Allah. Kebenaran diterima dari siapapun yang membawanya, namun tidak semua orang mengucapkan kebenaran itu menjadi imam dalam kebenaran. Setan yang mengajari Abu Hurairah radhiallahu anhu ayat kursi, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda tentangnya, “Ia telah berkata benar padamu, padahal ia adalah pendusta.” Dan juga sang rahib yahudi yang berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, “Wahai Abu Al-Qasim, sesungguhnya kami mendapati di dalam Taurat bahwa Allah mengangkat langit-langit di atas satu jari,” sampai akhir hadits. Mendengar hal itu, Nabi shallallahu alaihi wasallam bertasbih dengan membaca, “Subhanallah, subhanallah,” seraya tertawa hingga nampak geraham beliau karena membenarkan ucapan sang rahib.” (Dhawabith fi Mu’amalah As-Sunni li Al-Bid’i, pertanyaan no. 6)
Asy-Syaikh Saleh bin Abdil Aziz Alu Asy-Syaikh hafizhahullahu berkata, “Kebenaran diterima dari siapa saja yang datang membawanya walaupun dia adalah orang kafir. Sebagaimana diterimanya kebenaran dari setan, seperti yang tersebut dalam kisah yang masyhur antara Abu Hurairah bersama setan di dalam peristiwa penjagaan zakat fithri. Dimana setan datang mengambil (baca: hendak mencuri) namun Abu Hurairah menangkapnya. Kemudian dia datang lagi namun ditangkap lagi, kemudian dia datang lagi namun ditangkap lagi. Kemudian setan berkata kepadanya, “Maukah engkau aku tunjukkan sebuah ucapan yang apabila engkau mengucapkannya maka engkau akan menjadi aman atau kamu akan terjaga sepanjang malam? Bacalah ayat kursi setiap malam karena sesungguhnya engkau akan senantiasa pendapatkan penjagaan dari Allah sampai datangnya waktu pagi.” Kemudian Abu Hurairah mengabarkan hal ini kepada Nabi alaihishsholatu wassalam. Lalu Nabi alaihishsholatu wassalam bersabda: “Dia telah jujur padamu padahal dia adalah pendusta.” Beliau menerima pengajaran (setan) ini dan beliau mengambilnya padahal pengajaran ini berasal dari setan.” (Diterjemah dari Masaa`il fi Al-Hajri wa Maa Yata’allaqu Bihi via: http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=23982)
Menukil dari selain ahlussunnah bukanlah tazkiah (rekomendasi) terhadap mereka.
Asy-Syaikh Saleh Alu Asy-Syaikh hafizhahullah berkata, ”Dan hal ini termasuk manhaj yang bersifat umum dalam penegakkan hujjah dan penjelasan hujjah dalam semua bab-bab permasalahan agama. Yaitu bahwasanya tidaklah melazimkan seseorang yang menukil dari sebuah buku bahwa itu artinya dia mentazkiyahnya secara mutlak. Seseorang terkadang menukil darinya yang sesuai dengan kebenaran dalam rangka menyokong kebenaran, walaupun dia (penulis buku itu) menyelisihi kebenaran dalam masalah lainnya. Maka tidaklah tercela orang yang menukil dari buku yang mengandung kebenaran dan kebatilan, apabila yang dia nukil adalah bagian mengandung kebenaran. Lagipula, memperbanyak penukilan (sebuah kebenaran, pent.) dari orang-orang bersamaan dengan berbeda-bedanya mazhab dan pemikiran mereka, hal ini menunjukkan bahwa kebenaran (yang dinukil) itu bukanlah hal yang tersembunyi, namun kebenaran tersebut sudah banyak tersebar luas.” (Diterjemah dari Masaa`il fi Al-Hajri wa Maa Yata’allaqu Bihi via: http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=23982)
Kami juga pernah bertanya langsung kepada Asy-Syaikh Abdullah Mar’i tentang hukum membaca dan mengambil manfaat dari kitab yang ditulis oleh ulama yang dulunya ahlussunnah lalu belakangan dia menyimpang dari ahlussunnah, sementara kitab tersebut ditulis ketika dia masih berada dalam mazhab ahlussunnah.
Maka beliau hafizhahullah menyatakan bolehnya dengan catatan tetap mengingatkan (jika dia mengajarkan buku itu) bahwa penulisnya sekarang bukan lagi ahlussunnah. Maka ini juga menunjukkan kalau beliau membenarkan mengambil kebenaran yang ditulis oleh selain ahlussunnah.
Insya Allah inilah manhaj yang benar dan sikap yang inshaf serta adil dalam permasalahan ini, yaitu:
a. Wajib menerima kebenaran walaupun yang mengucapkannya adalah selain ahlussunnah.
b. Menukil kebenaran dari selain ahlussunnah tidak sama seperti menuntut ilmu dari selain ahlussunnah. Yang pertama dibenarkan dan yang kedua dilarang.
c. Menukil kebenaran dari selain ahlussunnah bukanlah bentuk dukungan dan rekomendasi terhadap selain ahlussunnah tersebut, akan tetapi ini merupakan penunaian hak dari kebenaran. Dimana hak kebenaran adalah dia harus diterima darimanapun datangnya.
Contoh amalan ulama dalam masalah ini:
Karenanya, kita mendapati para ulama ahlussunnah dari dahulu hingga belakangan, mereka tidak segan-segan untuk menukil ucapan selain ahlussunnah di dalam tulisan atau ucapan mereka, jika ucapan tersebut memang mengandung kebenaran. Berikut di antara contohnya:
Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdasi rahimahullah mengumpulkan hal-hal yang baik dari kitab Ihya` Ulum Ad-Din karya Al-Ghazali rahimahullah lalu menyusunnya menjadi kitab Minhaj Al-Qashidin. Dan para ulama menyatakan bahwa Al-Ghazali rahimahullah tidak pernah menulis karya apapun setelah dia bertaubat. Sementara status kitab Al-Ihya` ini saya rasa sudah cukup jelas di kalangan para penuntut ilmu, mengenai banyaknya kekeliruan dan kesalahan yang tersebut di dalamnya, dan kitab itu jelas ditulis oleh Al-Ghazali rahimahullah sebelum dia bertaubat. Maka amalan Ibnu Qudamah ini jelas menunjukkan bolehnya menukil kebenaran dari buku yang ditulis oleh selain ahlissunnah.
Di dalam kitab Sirah Nabawiyah karya Asy-Syaikh Al-Mubarakfuri, beliau mengutip ucapan dari kitab Husain Haikal, Sayyid Quthub, dan selainnya.
Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah menukil ucapan Sayyid Quthb dan Umar At-Tilmisani dalam Manhaj Al-Anbiya` fi Ad-Da’wah ilalllah hal. 181-186, yang berisi anjuran keduanya kepada para politikus untuk memperhatikan akidah.
Asy-Syaikh Saleh Al-Fauzan hafizhahullah di dalam kitab Al-Ath’imah beberapa kali menukil ucapan Sayyid Quthb dari tafsir Fii Zhilal Al-Qur`an.
Dan masih banyak lagi contoh lainnya, insya Allah akan ditambahkan jika memang dirasa perlu untuk ditambahkan. Akan tetapi insya Allah contoh-contoh ini sudah mencukupi bagi orang yang berakal dan yang inshaf dalam berbuat. Wallahu a’lam bishshawab.
http://al-atsariyyah.com/menukil-kebenaran-dari-selain-ahlussunnah.html

Baca Selanjutnya ..

Nasehat untuk wanita


Oleh : Ustadz Marwan

Suatu perkara yang dimaklumi, bahwa kehidupan suatu kumpulan masyarakat itu terdiri dari sekumpulan rumah tangga, dan satu rumah tangga itu tentunya terdiri dari individu-individu, sebagaimana suatu bangunan itu tegak adalah terdiri dari pondasi dan bangunan di atasnya. Maka kekuatan suatu bangunan itu adalah tergantung dari kadar kekuatan  pondasi dan bangunan di  atasnya tersebut. Sehingga Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menggambarkan sekumpulan dari masyarakat kaum muslimin adalah sebagaimana suatu bangunan yang saling menopang satu dengan yang lain, dan perumpamaan yang lain adalah sebagaimana satu jasad yang seluruh jasad tersebut akan merasakan sakit ketika salah satu anggota badan tersebut tertimpa sakit.
Seorang wanita dalam satu rumah tangga yang kedudukannya sebagai seorang isteri memiliki peranan penting atas terwujudnya rumah tangga yang baik bagi satu keluarga seorang muslim. Semua itu akan terwujud –biidznillah- ketika seorang isteri itu adalah sebagai perhiasan yang terbaik di suatu rumah tangga tersebut. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa sallam dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash –radhiallahu’anhuma- bahwa beliau Shallallahu’alaihi Wa Sallam bersabda  :
الدُ نْيا مَتَاعٌ وَ خَيْرُ مَتَاعِهَا المَرْأةُ الصَالحة
Dunia itu adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan itu adalah seorang wanita shalihah.
Salah satu hal yang mesti ada pada diri seorang wanita shalihah pada kedudukannya sebagai seorang isteri adalah taat kepada suaminya dalam perkara yang ma’ruf. Maka hendaknya setiap isteri berusaha keras melakukan upaya dan berbuat sesuatu untuk mentaati suaminya serta menghindari berbuat durhaka kepada para suami. Karena ketaatan seorang isteri kepada suaminya merupakan satu amalan yang akan menyebabkan masuknya seorang wanita ke dalam jannah dan durhaka terhadap suami adalah merupakan sebab masuknya seortang wanita ke dalam api neraka.
Maka setiap isteri hendaknya menjaga ketaqwaan kepada Allah Ta’aala, dan kemudian hendaknya mentatai suaminya sertahendaklah menjauhi hal-hal berikut :
  1. Meninggalkan tempat tidur suaminya dan menjadikan kemarahan suami.
Sebagaimana di sebutkan dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim Bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi Wa Sallam bersabda :
إذا بَاتَتْ المَرْأةُ مُهَاجرَةً فِرَاشِ زَوْجها لَعَنَتْهَا المَلائكة حتَّ تُصْبِحَ
Jika seorang wanita bermalam dalam keadaan meninggalkan tempat tidur suaminya maka malaikat melaknatnya hingga pagi hari.
2.  Menyakiti suaminya.
Disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah –radhiallahu’anhu- : Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa Sallam bersabda :
لا تؤذى امرأة زَوجَهَا فى الدنْيا إلا قَالت زوجَتُه من الحور العين : لا تؤذيهِ قاتلك الله فإنّما هو دخيل عندكِ يُوشك أن يفارقك إلينا
Tidaklah seorang isteri menyakiti suaminya di dunia kecuali berkata isterinya dari kalangan hurul ‘iin (bidadari jannah) : Janganlah engkau menyakitinya, semoga Allah memerangimu, hanyalah ia berada di sisimu (di dunia ) sebentar lagi ia akan berpisah  meninggalkanmu untuk bersamaku.
3.  Berudzur dengan selain udzur syar’i dari ajakan suami untuk bersebadan.
Seorang wanita yang cerdas dan yang berakal adalah yang senantiasa memperhatikan untuk memberikan pelayanan kepada suaminya, dan berusaha keras untuk mentaatinya dalam hal yang ma’ruf, jika ia mendapati kekurangan-kekurangan pada dirinya dalam pelayanan tersebut hendaklah ia menyatakan udzurnya, dan jika dirasa sikapnya menyebabkan kemarahan sang suami maka hendaklah segera memohon maaf dan hendaklah segera berusaha mencari keridhaannya.
Dan seorang wanita yang berakal adalah yang mengetahui tanggung jawab serta tugasnya sebagai seorang isteri di rumah suaminya. Dan termasuk dari tugas dan tanggung jawabnya adalah menjadikan suasana rumah yang penuh pesona, menciptakan suasana yang nyaman bagi suaminya dan anak-anaknya. Suami bisa mendapatkan kenyamanan di dalam rumah tersebut. Kalau sang suami ingin mendapatkan kenyamanan maka ia dapati di rumah tersebut, kalau seorang suami menghendaki untuk beristirahat maka ia mendapatkan di rumah tersebut bersama isterinya, kalau seorang suami menginginkan kenikmatan maka ia dapati di rumah tersebut. Dan ketika seorang suami berkehendak untuk mengajak isteri untuk bersebadan dengannya maka segera ia memenuhi panggilanya  sebagaimana tersebut dalam satu riwayat yang dikeluarkan oleh imam Tirmidzi dari sahabat Thalqun bin ‘Ali bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
إ ذاَ دَعَا الرَّجُلُ زَوْ جَتَهُ لِحَاجَتِهِ  فَلتأ تِهِ وَ إنْ كَا نَتْ عَلى التَّنّورِ
Jika seorang suami memanggil isterinya untuk suatu kebutuhannya maka wajib baginya untuk segera memenuhinya sekalipun (ia) berada di Tannur (sedang memasak di dapur).
Semoga Allah Ta’aala merahmati suatu rumah tangga yang dipenuhi dengan ketenangan dan ketentraman yang dimakmurkan di dalamnya syari’at Allah Ta’aala. Semoga Allah Ta’aala merahmati keadaan suatu rumah tangga yang di dalamnya terdapat sebaik-baik perhiasan dunia yaitu seorang isteri yang shalihah. Semoga Allah Ta’aala merahmati seorang suami yang ketika memasuki rumah isterinya kemudian ia mengatakan : Maa syaa Allah  laa quwwata illa billah (ini adalah kehendak Allah semata, dan tiada kekuatan kecuali datang dari sisi Allah Ta’aala), Karena isteri di rumah tersebut telah menjadikan rumah suaminya sebagai jannah (taman-taman di dunia).

Baca Selanjutnya ..