Selasa, 24 Juli 2012

7 Tips Memaksimalkan Pahala di Bulan Ramadhan


Ramadhan yang mulia telah tiba. Momentum di bulan ini adalah ladang untuk menyemai benih-benih amal, demi meraih surga-Nya dan bersua dengan-Nya dalam keadaan ridha dan diridhai. Namun di satu sisi, jenis amalan yang bisa kita lakukan untuk ber-taqarrub di bulan Ramadhan yang mulia ini sangatlah beragam dan banyak, sementara tidak ada satu pun dari kita yang akan mampu melakukan seluruh amalan-amalan tersebut dengan sempurna, sebagaimana ungkapan ibunda ‘Aisyah radhiallaahu’anha:
وَأَيُّكُمْ يَسْتَطِيْعُ مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَطِيْعُ؟
“Siapakah di antara kalian yang mampu melakukan apa yang mampu di lakukan oleh Rasulullah?”[1]
Terlebih lagi realitas keragaman kaum muslimin yang melahirkan perbedaan situasi, kondisi, dan kemampuan masing-masing individu dalam menunaikan ibadah sunnah. Hal ini menuntut kita untuk mampu memenej ibadah sunnah agar menghasilkan pahala yang maksimal sesuai kemampuan dan keluangan setiap pribadi muslim.
Tahukah Anda bahwa seorang hamba yang terlihat secara zhahir melakukan amalan yang sederhana, bisa mengalahkan pahala ibadah mereka yang tampak menggebu-gebu dan payah dalam ibadahnya? Inilah yang diisyaratkan oleh Abu Darda dalam ucapannya yang terkenal[2]:
يَا حَبَّذَا نَوْمُ الأَكْيَاسِ وَإفْطَارُهُمْ كَيْفَ يَغْبِنُوْنََ سَهَرَ الْحَمْقَى وَصِيَامَهُمْ، وَلَمِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ بِرِّ صَاحِبِ تَقْوًى وَيَقِيْنٍ، أَعْظَمُ وَأَفْضَلُ وَأَرْجَحُ مِنْ أَمْثَالِ الْجِبَالِ عِبَادَةً مِنَ الْمُغْتَرِّيْنَ
“Duhai betapa hebat tidur dan ifthor-nya orang-orang berilmu (mereka tidak sholat malam dan juga tidak puasa sunnah-pent), namun bagaimana mereka bisa mengalahkan (pahala) sholat malam dan puasanya orang-orang yang bodoh. Sungguh, seukuran biji dzarroh amalan orang yang bertakwa atas dasar ilmu, lebih agung, lebih utama, dan lebih kuat dibandingkan sebesar gunung ibadah dari orang-orang yang tertipu (karena kebodohan mereka tentang ilmu agama).”  
Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Untuk itu—dengan mengharapkan pertolongan Allah—kami akan memaparkan beberapa kerangka acuan yang sepatutnya kita amalkan demi meraih semaksimal mungkin pahala di bulan suci ini sesuai kesanggupan yang ada pada diri kita masing-masing;


Pertama:  Perkuat keikhlasan Anda. Karena semakin besar kekuatan ikhlas dalam beramal, semakin besar pula pahala amalan tersebut. Allah berfirman:
وَاللهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ
“…dan Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki…” [QS. Al-Baqarah: 261]. Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa: “yang demikian itu bergantung pada (tingkat) keikhlasannya.”[3]
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim (Shahih Bukhari: 2840 dan Shahih Muslim: 1153), Rasulullah bersabda:
مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا
“Barangsiapa berpuasa sehari fii sabiilillaah (di jalan Allah), maka Allah akan menjauhkan wajahnya (dan seluruh raganya) dari api neraka sejauh 70 tahun perjalanan.”
Para ulama menjelaskan bahwa termasuk dalam cakupan makna fii sabiilillaahdalam hadits di atas adalah; “ikhlas karena Allah semata”.  
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah juga bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keyakinan (akan pahalanya) dan niat yang ikhlas dalam meraih ganjaran dari Allah, maka pasti dosa-dosanya yang telah lalu diampuni.” [Shahih Bukhari: 38, Shahih Muslim: 760]
Termasuk dalam hal ini adalah adanya tekad dan niat yang besar untuk melaksanakan sunnah-sunnah Ramadhan kendati terhalang oleh udzur berupa kelemahan fisik dan harta. Seperti berangan-angan dan bertekad agar bisa melaksanakan umroh saat Ramadhan, atas dasar keyakinan akan janji Rasulullahdalam sabdanya kepada Ummu Sinaan al-Anshoriy radhiallaahu’anha:
فَإِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فَاعْتَمِرِي، فَإِنَّ عُمْرَةً فِيهِ تَعْدِلُ حَجَّةً
“Jika telah tiba Ramadhan, maka umrah-lah. Karena sesungguhnya umrah di bulan tersebut sama pahalanya dengan menunaikan haji.”[4]
Jika tekad dan niat tersebut terhalang oleh udzur, maka Insya Allah, terdapat pahala bagi niat yang shalih sesuai kadar kekuatan tekad dan harapan yang bersemayam di dalam hati[5].
Kedua: Senantiasa ikrarkan niat di dalam hati pada setiap amal atau pekerjaan yang Anda lakukan demi mengharapkan ridha Allah.
Jangan remehkan hal ini. Coba bayangkan! Hanya dengan tidur di siang hari, namun dengan niat agar bisa khusyu’ mengerjakan Tarawih di malam hari, Anda sudah mendapatkan pahala tersendiri dari tidur siang tersebut. Tidak demikian halnya bagi orang yang tidur tanpa menghadirkan niat karena Allah.
Demikianlah keajaiban niat. Amalan hati yang tidak membutuhkan keletihan fisik untuk menunaikannya, tidak sedikitpun gerak anggota badan dilibatkan dalam urusan niat. Kendati demikian, ia adalah ruh bagi setiap amal. Keikhlasan merupakan syarat penentu diterima tidaknya suatu amal oleh Allah, sebagaimana ia juga menjadi pembeda derajat para hamba dalam rapor amal mereka.
Dahulu, para salaf senantiasa meniatkan setiap gerak dan amal anggota badan mereka agar bernilai ibadah dan mendatangkan pahala. Saat mereka tidur, mereka niatkan karena Allah, demikian pula saat mereka makan, minum, berjalan kaki, menaiki kendaraan, berbicara, diam, semuanya mereka niatkan sebagai bentuk sarana pengabdian dan taqarrub kepada Allah. Dahulu pernah dikatakan kepada ‘Umar bin Dzar rahimahullaah:
تَكَلَّمْ! فَيَقُوْلُ: مَا تَحْضُرُنِي نِيَّةٌ.
“Bicaralah (wahai ‘Umar)! Lantas beliau mengatakan: “niat (untuk berbicara yang bernilai ibadah) belum hadir pada diriku.” [Ta’thiirul Anfaas min Hadiitsil Ikhlaash: 59]
Tidak heran jika Ja’far bin Hayyan rahimahullaah mengatakan:
مِلاَكُ هَذِهِ الأَعْمَالِ النِّيَّاتُ، فَإنَّ الرَّجُلَ يَبْلُغُ بِنِيَّتِهِ مَا لاَ يَبْلُغُ بِعَمَلِهِ
“Niat adalah penentu amalan, karena sesungguhnya dengan niat tersebut, seseorang mampu mencapai sesuatu (di sisi Allah), apa yang tidak mampu ia capai dengan amalannya.” [Ta’thiirul Anfaas min Hadiitsil Ikhlaash: 34]
Ketiga: Kumpulkanlah sebanyak mungkin niat yang shalih dalam satu amal atau pekerjaan Anda. Karena semakin banyak niat yang shalih dalam suatu amalan, maka semakin banyak pula pahalanya.
Imam Abu Tholib al-Makkiy rahimahullaah mengatakan:
فَرُبَّمَا اتَّفَقَ فِي الْعَمَلِ الْوَاحِدِ نِيَّاتٌ كَثِيْرَةٌ عَلَى مِقْدَارِ مَا يَحْتَمِلُ الْعَبْدُ مِنَ النِّيَّةِ، وَعَلَى مِقْدَارِ عِلْمِ الْعَامِلِ، فَيَكُوْنُ لَهُ بِكُلِّ نِيَّةٍ حَسَنَةٌ.
“Bisa saja niat yang banyak berkumpul pada satu amalan sesuai kadar kemampuan seorang hamba dalam menghadirkan niat dan sesuai kadar ilmu yang dimiliki orang yang beramal. Maka ia akan memperoleh untuk setiap niat, pahala tersendiri.” [Ta’thiirul Anfaas: 49]
Contoh praktisnya sebagai berikut: saat tiba waktu istirahat di kantor untuk sholat Zhuhur, ambillah air wudhu, lalu berjalanlah menuju masjid, niatkan langkah Anda sebagai pengorbanan menuju ketaatan pada Allah, sesampai di masjid, hadirkan niat untuk sholat, sekaligus niat untuk menunggu waktu sholat, sekaligus niat untuk i’tikaf di masjid, tambahkan niat untuk ber-‘uzlah (mengasingkan diri) guna menghindari kemaksiatan dan ghibah yang terjadi di kantor. Dari masing-masing niat tersebut, Anda sudah mengumpulkan banyak pahala. Melalui contoh praktis ini, Anda bisa menganalogikannya pada amalan yang lain.
Keempat: Upayakanlah kesempurnaan mutaba’ah. Semakin sungguh-sungguh seorang hamba dalam usaha menyelaraskan diri dengan tuntunan Nabi r baik yang diperintahkan, dianjurkan, atau dicontohkan melalui ucapan dan perbuatan beliaur, maka semakin besar pula pahala yang diraih oleh hamba tersebut.
Contohnya dengan mengerjakan amalan-amalan pada waktu, tempat, dan kondisi yang dianjurkan, seperti; sholat Tarawih di masjid secara berjama’ah di sepertiga malam yang akhir, bermujahadah dalam ibadah di sepuluh malam terakhir Ramadhan, mengkhatamkan al-Qur-aan, dan senantiasa menjaga wudhu.
Namun jika hal tersebut tidak mampu kita lakukan dikarenakan lemahnya fisik, maka upayakanlah kesempurnaan mutaba’ah pada amalan lain seperti; menyempurnakan wudhu sebanyak tiga kali lalu diiringi dengan sholat dua rakaat, beristigfar di waktu sahur, menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, melakukan dzikir muthlaq, dan lain sebagainya dari amalan-amalan yang ringan namun berbobot besar di sisi Allah.
KelimaAmalan wajib harus lebih diutamakan daripada amalan sunnah. Dalil yang melandasi prinsip asasi ini adalah sabda baginda Nabi dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“..tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan yang lebih aku cintai daripada amalan-amalan wajib. Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku mencintainya…”[6]
Hadits ini menunjukkan secara gamblang bahwa amalan wajib lebih dicintai Allah daripada amalan sunnah. Dengan demikian, jelaslah kekeliruan sebagian muslimin yang begitu bersemangat melaksanakan sholat Tarawih berjama’ah di masjid, sementara sholat fardhu mereka tunaikan di rumah masing-masing.
Keenam: Mengutamakan ibadah sunnah yang lebih mampu dilakukan secara berkualitas dan kontinyu daripada bersusah-payah melakukan amalan yang jauh dari kemampuan. Hal ini dipetik dari firman Allah:
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَى سَبِيلا
“Katakanlah: ‘Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing’. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalan-Nya.” [QS. Al-Israa: 84]
Dalam sebuah hadits dari ‘Aisyah radhiallaahu’anha, Rasulullah bersabda:
عَلَيْكُمْ مِنَ الْعَمَلِ مَا تَطِيْقُوْنَ
 “Hati-hatilah kalian dari amalan yang tidak mampu kalian lakukan.”[7]
Maka berdasarkan hal ini, janganlah seorang pemilik harta melimpah yang tidak memiliki ilmu dien yang mumpuni, memaksakan diri dengan hartanya tersebut untuk bisa tampil sebagai da’i Ramadhan di setiap kesempatan. Karena jika dia menggunakan hartanya untuk memberi makanan berbuka bagi orang-orang miskin, tentu itu lebih bermanfaat baginya dari sisi pahala dan keutamaan.
Ketujuh: Melakukan amalan secara konsisten dan kontinyu sekalipun terbilang sedikit secara kuantitas. Janganlah seorang memaksakan diri mengkhatamkan al-Qur-aan dalam tiga hari, sehingga ia luput dari sunnah membaca dengan tartil dan tadabbur, lalu setelah itu dia tidak pernah lagi membaca al-Qur-aan. Karena jika hamba yang bersemangat ini membaca al-Qur-aan walau beberapa ayat saja sesuai kemampuannya, namun disertai tartil, tadabbur, dan konsistensi, tentu itu jauh lebih utama baginya. Karena Rasulullah bersabda:
أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا، وَإِنْ قَلَّ
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling konsisten dan kontinyu, sekalipun hanya sedikit.”[8] 
Demikianlah saudara-saudara yang dirahmati Allah. Beberapa kerangka acuan dalam menyambut Ramadhan, agar amal ibadah kita bisa menelurkan pahala semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang ada pada diri kita masing-masing. Besar harapan akan faidah berharga dari apa-apa yang terurai di atas, dan semoga Allah berkenan mempertemukan kita dengan Ramadhan dalam naungan taufik dan pertolongan-Nya, untuk senantiasa ber-taqarrub demi perjumpaan agung di surga-Nya kelak.


***




Artikel : alhujjah.com


[1] Shahih Muslim no. 783,
[2] Az-Zuhd: 1/113 no. 738, Imam Ahmad, Cet.-1 Darul al-‘Ilmiyyah, 1420
[3] Tafsiir Ibnu Katsiir: 1/693, Cet.-2 Daar Thayyibah 1420-H.
[4] Shahih Muslim no. 1256, lihat juga Shahih Bukhari no. 1782.
[5] Lihat Syarh Shahih Muslim: 13/57, Cet.-2 Daar Ihyaa’ at-Turaats al-‘Arabiy 1392-H.
[6] Shahih Bukhari no. 6502.
[7] Shahih Muslim no. 782.
[8] Shahih Muslim no. 783.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar