Kali ini akan kita bahas mengenai sebuah tradisi yang banyak dilestarikan
oleh masyarakat, terutama di kalangan aktifis da’wah yang beramal tanpa
didasari ilmu, tradisi tersebut
adalah tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadhan. Ya, saya
katakan demikian karena tradisi ini pun pertama kali saya kenal dari para
aktifis da’wah kampus dahulu, dan ketika itu saya amati banyak masyarakat awam malah
tidak tahu tradisi ini. Dengan kata lain, bisa jadi tradisi ini disebarluaskan
oleh mereka para aktifis da’wah yang kurang mengilmu apa yang mereka da’wahkan
bukan disebarluaskan oleh masyarakat awam. Dan perlu diketahui, bahwa tradisi
ini tidak pernah diajarkan oleh Islam.
Mereka yang melestarikan tradisi ini beralasan dengan hadits yang
terjemahannya sebagai berikut:
Ketika Rasullullah sedang berkhutbah pada Shalat Jum’at (dalam bulan
Sya’ban), beliau mengatakan Amin sampai tiga kali, dan para sahabat begitu
mendengar Rasullullah mengatakan Amin, terkejut dan spontan mereka ikut
mengatakan Amin. Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasullullah berkata Amin
sampai tiga kali. Ketika selesai shalat
Jum’at, para sahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian beliau menjelaskan:
“ketika aku sedang berkhutbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik, hai
Rasullullah Amin-kan do’a ku ini,” jawab Rasullullah.
Do’a Malaikat Jibril itu adalah:
“Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:
“Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:
1)
Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
2) Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri;
3) Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.
2) Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri;
3) Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.
Namun anehnya, hampir semua orang yang menuliskan hadits ini tidak ada yang
menyebutkan periwayat hadits. Setelah dicari, hadits ini pun tidak ada di
kitab-kitab hadits. Setelah berusaha mencari-cari lagi, saya menemukan ada
orang yang menuliskan hadits ini kemudian menyebutkan bahwa hadits ini
diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (3/192) dan Ahmad (2/246, 254). Ternyata pada
kitab Shahih Ibnu Khuzaimah (3/192) juga pada kitab Musnad Imam
Ahmad (2/246, 254) ditemukan hadits berikut:
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم
رقي المنبر فقال : آمين آمين آمين فقيل له : يارسول الله
ما كنت تصنع هذا ؟ ! فقال : قال لي جبريل
: أرغم الله أنف عبد أو بعد دخل رمضان فلم يغفر له فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف
عبد أو بعد أدرك و الديه أو أحدهما لم يدخله الجنة فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد ذكرت عنده فلم يصل عليك فقلت : آمين
قال الأعظمي : إسناده جيد
“Dari Abu Hurairah: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam naik mimbar
lalu bersabda: ‘Amin, Amin, Amin’. Para sahabat bertanya : “Kenapa engkau
berkata demikian, wahai Rasulullah?” Kemudian beliau bersabda, “Baru saja
Jibril berkata kepadaku: ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadhan tanpa mendapatkan
ampunan’, maka kukatakan, ‘Amin’, kemudian Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat
seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun tidak
membuatnya masuk Jannah (karena tidak berbakti kepada mereka berdua)’, maka aku
berkata: ‘Amin’. Kemudian Jibril berkata lagi. ‘Allah melaknat seorang hambar
yang tidak bershalawat ketika disebut namamu’, maka kukatakan, ‘Amin”.” Al
A’zhami berkata: “Sanad hadits ini jayyid”.
Hadits ini dishahihkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib
(2/114, 406, 407, 3/295), juga oleh Adz Dzahabi dalam Al Madzhab
(4/1682), dihasankan oleh Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (8/142),
juga oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Al Qaulul Badi‘ (212), juga
oleh Al Albani di Shahih At Targhib (1679).
Dari sini jelaslah bahwa kedua hadits tersebut di atas adalah dua hadits
yang berbeda. Entah siapa orang iseng yang membuat hadits pertama. Atau mungkin
bisa jadi pembuat hadits tersebut mendengar hadits kedua, lalu menyebarkannya
kepada orang banyak dengan ingatannya yang rusak, sehingga berubahlah makna
hadits. Atau bisa jadi juga, pembuat hadits ini berinovasi membuat tradisi bermaaf-maafan
sebelum Ramadhan, lalu
sengaja menyelewengkan hadits kedua ini untuk mengesahkan tradisi tersebut.
Yang jelas, hadits yang tidak ada asal-usulnya, kita pun tidak tahu siapa yang
mengatakan hal itu, sebenarnya itu bukan hadits dan tidak perlu kita hiraukan,
apalagi diamalkan.
Meminta maaf itu disyariatkan dalam Islam. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda,
من كانت له
مظلمة لأخيه من عرضه أو شيء فليتحلله منه اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم إن
كان له عمل صالح أخذ منه بقدر مظلمته وإن لم تكن له حسنات أخذ من سيئات صاحبه فحمل
عليه
“Orang yang pernah menzhalimi saudaranya dalam hal apapun, maka hari ini
ia wajib meminta perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum
datang hari dimana tidak ada ada dinar dan dirham. Karena jika orang tersebut
memiliki amal shalih, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi
kezhalimannya. Namun jika ia tidak memiliki amal shalih, maka ditambahkan
kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zhalimi” (HR. Bukhari no.2449)
Dari hadits ini jelas bahwa Islam
mengajarkan untuk meminta maaf, jika berbuat kesalahan kepada orang
lain. Adapun meminta maaf tanpa sebab dan dilakukan kepada semua orang
yang ditemui, tidak pernah diajarkan oleh Islam. Jika ada yang berkata:
“Manusia khan tempat salah dan dosa, mungkin saja kita berbuat salah kepada
semua orang tanpa disadari”. Yang dikatakan itu memang benar, namun apakah
serta merta kita meminta maaf kepada semua orang yang kita temui? Mengapa
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat tidak pernah
berbuat demikian? Padahal mereka orang-orang yang paling khawatir akan dosa.
Selain itu, kesalahan yang tidak sengaja atau tidak disadari tidak dihitung
sebagai dosa di sisi Allah Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam,
إن الله
تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه
“Sesungguhnya Allah telah memaafkan ummatku yang berbuat salah karena
tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa” (HR Ibnu Majah,
1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 4/4, di shahihkan Al
Albani dalam Shahih Ibni Majah)
Sehingga, perbuatan meminta maaf kepada semua orang tanpa sebab bisa
terjerumus pada ghuluw (berlebihan) dalam beragama.
Dan kata اليوم (hari ini)
menunjukkan bahwa meminta maaf itu dapat dilakukan kapan saja dan yang paling
baik adalah meminta maaf dengan segera, karena kita tidak tahu kapan ajal
menjemput. Sehingga mengkhususkan suatu waktu untuk meminta maaf dan dikerjakan
secara rutin setiap tahun tidak dibenarkan dalam Islam dan bukan ajaran Islam.
Namun bagi seseorang yang memang memiliki kesalahan kepada saudaranya dan
belum menemukan momen yang tepat untuk meminta maaf, dan menganggap momen
datangnya Ramadhan adalah momen yang
tepat, tidak ada larangan memanfaatkan momen ini untuk meminta maaf kepada
orang yang pernah dizhaliminya tersebut. Asalkan tidak dijadikan kebiasaan
sehingga menjadi ritual rutin yang dilakukan setiap tahun.
Wallahu’alam.
Penulis: Yulian
Purnama
Artikel www.muslim.or.id
Dari artikel Bermaafan Sebelum Ramadhan — Muslim.Or.Id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar