Rabu, 12 Desember 2012

Muhasabah




(ditulis oleh: Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah)

Muhasabah (introspeksi) pada jiwa ada dua macam: sebelum beramal dan

setelah beramal.

Muhasabah sebelum beramal yaitu hendaknya seseorang menahan diri dari

keinginan dan tekadnya untuk beramal, tidak terburu-buru berbuat

hingga jelas baginya bahwa jika ia mengamalkannya akan lebih baik

daripada meninggalkannya.

Al-Hasan t mengatakan: “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang

berhenti (untuk muhasabah) saat bertekad (untuk berbuat sesuatu). Jika

(amalnya) karena Allah, maka ia terus melaksanakannya dan jika karena

selain-Nya ia mengurungkannya.”

Sebagian mereka (ulama) menjabarkan ucapan beliau seraya mengatakan:

“Jika jiwa tergerak untuk mengerjakan suatu amalan dan seorang hamba

bertekad melakukannya, maka ia (mestinya) berhenti sejenak dan

melihat, apakah amalan itu dalam kemampuannya atau tidak? Jika tidak

dalam kemampuannya maka tidak dilakukan, tapi kalau mampu maka ia

berhenti lagi untuk melihat apakah melakukannya lebih baik daripada

meninggalkannya atau (bahkan) meninggalkannya lebih baik?

Kalau (keadaannya adalah) yang kedua maka ia tidak melakukannya. Kalau

yang pertama maka ia berhenti untuk ketiga kalinya dan melihat: apakah

pendorongnya adalah keinginan mendapatkan wajah Allah I dan pahalanya

atau sekedar kedudukan, pujian dan harta dari makhluk? Kalau yang

kedua maka ia tidak melakukannya walaupun akan menyampaikan pada

keinginannya, agar supaya jiwa tidak terbiasa berbuat syirik dan tidak

terasa ringan untuk beramal demi selain Allah . Karena seukuran

ringannya dalam beramal untuk selain Allah , seukuran itu pula

beratnya dalam beramal untuk Allah , hingga hal itu menjadi sesuatu

yang paling berat buatnya.

Kalau ternyata pendorong amalnya adalah karena Allah, maka ia

berhenti lagi dan melihat: apakah ia akan dibantu dan ia dapati

orang-orang yang membantunya –jika amalan itu memang membutuhkan

bantuan orang lain– atau tidak ia dapatkan? Kalau tidak didapati yang

membantu, hendaknya ia menahan dari amalan tersebut. Sebagaimana Nabi

 menahan diri untuk berjihad ketika di Makkah hingga beliau

mendapatkan orang yang membantunya dan punya kekuatan. Kalau ia

mendapatkan orang yang membantu, maka lakukanlah, niscaya ia akan

ditolong. Dan keberhasilan tidak akan lepas kecuali dari orang yang

melewatkan satu perkara dari perkara-perkara tadi. Jika tidak, maka

dengan terkumpulnya semua perkara itu niscaya takkan lepas

keberhasilannya.”

Demikian empat keadaan yang seseorang butuh untuk memuhasabah jiwanya

sebelum beramal. Tidak semua  yang ingin dilakukan oleh seorang hamba

itu mampu dilakukan, dan tidak setiap yang mampu dilakukan itu berarti

melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya. Dan tidak setiap

yang demikian itu ia lakukan karena Allah . Tidak pula setiap yang

dilakukan karena Allah , ia akan mendapatkan bantuan. Maka jika ia

bermuhasabah pada dirinya, akan jelas baginya apa yang dilakukan dan

apa yang akan ditinggalkan.

Berikutnya adalah muhasabah setelah beramal, terbagi dalam tiga macam:

Pertama:
 muhasabah pada amal ketaatan yang ia tidak memenuhi hak Allah

padanya, di mana ia tidak melakukannya sebagaimana semestinya.

Hak Allah  pada sebuah amal ketaatan ada enam: ikhlas dalam beramal,

niat baik kepada Allah, mengikuti Rasulullah , berbuat baik padanya,

mengakui nikmat Allah I padanya, menyaksikan adanya kekurangan pada

dirinya dalam beramal. Setelah itu semua maka ia memuhasabah dirinya,

apakah ia memenuhi hak-hak itu dan apakah ia melakukannya ketika

melakukan ketaatan itu?

Kedua:
 muhasabah jiwa dalam setiap amalan yang lebih baik ditinggalkan

daripada dikerjakan.

Ketiga:
 muhasabah jiwa dalam perkara yang mubah atau yang biasa.

Mengapa ia melakukannya? Apakah ia niatkan karena Allah dan negeri

akhirat, sehingga ia beruntung? Atau ia inginkan dengannya dunia dan

balasannya yang cepat sehingga ia kehilangan keberuntungan itu?

Orang yang membiarkan amalnya, tidak bermuhasabah, berlarut-larut

serta memudah-mudahkan perkaranya, sungguh ini akan menyampaikan

dirinya kepada kebinasaan. Inilah kondisi orang-orang yang tertipu. Ia

pejamkan dua matanya untuk melihat akibat amalannya, membiarkan

berlalu keadaannya dan hanya bersandar pada ampunan, sehingga ia tidak

bermuhasabah dan tidak melihat akibat amalnya. Kalau ia lakukan itu

maka akan mudah melakukan dosa, merasa tenang dengannya, dan akan

kesulitan menghindarkan diri dari dosa. Kalau ia sadari tentu akan

tahu bahwa menjaga (diri dari dosa) itu lebih gampang daripada

menghindari dan meninggalkan sesuatu yang menjadi kebiasaan.

Pokok dari muhasabah adalah: ia memuhasabah dirinya. Terlebih dahulu

pada amalan wajib, kalau ia ingat ada kekurangan pada dirinya maka

segera menutupinya, mungkin dengan meng-qadha atau memperbaikinya.

Lalu ia memuhasabah pada amalan-amalan yang terlarang. Kalau ia tahu

bahwa ia (telah) melakukan sebuah perbuatan terlarang, segera ia susul

dengan taubat, istighfar, dan melakukan amalan yang menghapusnya. Lalu

memuhasabah dirinya pada kelalaiannya, kalau ternyata ia telah lalai

dari tujuan penciptaan dirinya, segera ia susul dengan dzikrullah dan

menghadapkan dirinya kepada Allah. Lalu ia muhasabah pada tutur

katanya, pada amalan yang kakinya melangkah ke suatu tempat, atau pada

apa yang dilakukan oleh kedua tangannya, dan pada perkara yang

didengar oleh kedua telinganya; apa yang engkau niatkan dengan ini?

Demi siapa engkau melakukannya? Bagaimana engkau melakukannya?

Hendaknya ia pun tahu bahwa pasti akan dihamparkan dua catatan untuk

setiap gerakan dan kata. Yaitu untuk siapa kamu melakukannya dan

bagaimana kamu melakukannya? Yang pertama adalah pertanyaan tentang

keikhlasan dan yang kedua adalah pertanyaan tentang mutaba’ah. Allah

berfirman:

“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa

yang telah mereka kerjakan dahulu.” (Al-Hijr: 92-93)

“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus

rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula)

rasul-rasul (Kami). Maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka

(apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan

mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (Al-A’raf:

6-7)

“Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran

mereka dan Dia menyediakan bagi orang-orang kafir siksa yang pedih.”

(Al-Ahzab: 8)

Jika orang-orang yang jujur ditanya dan dihitung amalnya, maka

bagaimana dengan orang-orang yang berdusta?

Qatadah  mengatakan: “Dua kalimat, yang akan ditanya dengannya

orang-orang terdahulu maupun yang kemudian. Apa yang kalian ibadahi?

Dengan apa kamu sambut para rasul? Yakni ditanya tentang sesembahannya

dan tentang ibadahnya.”

Allah berfirman:

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan

(yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (At-Takatsur: 8)

Muhammad ibnu Jarir t mengatakan: Allah mengatakan: “Kemudian pasti

Allah akan bertanya kepada kalian tentang nikmat yang kalian

mendapatkannya di dunia, apa yang kalian lakukan dengannya? Dari jalan

mana kalian sampai kepadanya? Dengan apa kalian mendapatkannya? Apa

yang kalian perbuat padanya?”

Qatadah t mengatakan: Allah I bertanya kepada setiap hamba tentang apa

yang Allah  berikan berupa nikmat-Nya dan hak-Nya.

Kenikmatan yang ditanya itu ada dua macam:

Pertama, nikmat yang diambil dengan cara yang halal dan dibelanjakan

pada haknya, maka akan ditanya bagaimana syukurnya.

Kedua, nikmat yang diambil tidak dengan cara yang halal dan

dibelanjakan bukan pada haknya maka akan ditanya asalnya dan kemana

dibelanjakan.

Maka jika seorang hamba akan ditanya dan dihitung segala amalnya

sampai pada pendengarannya, penglihatannya dan qalbunya sebagaimana

firman Allah :

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai

pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan

hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra: 36)

Maka sangatlah pantas ia bermuhasabah atas dirinya sebelum ditanya

dalam hisab/ perhitungan amal.

Yang menunjukkan wajibnya bermuhasabah pada jiwa adalah firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah

setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok

(akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha

Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr: 18)

Allah  mengatakan: Seseorang dari kalian hendaknya melihat

amalan-amalan yang ia lakukan untuk hari kiamat, apakah amal shalih

yang menyelamatkannya ataukah amal jelek yang membinasakannya?

Qatadah  mengatakan: Masih saja Allah mendekatkan hari kiamat

sehingga menjadikannya seolah esok hari.

Maksud dari pembahasan ini adalah bahwa kebaikan qalbu adalah dengan

muhasabah jiwa, dan rusaknya adalah dengan melalaikannya dan

membiarkannya.

(Diterjemahkan dari Ighatsatul Lahafan, hal. 90-93 dengan sedikit

ringkasan oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar